TAK ADA ANAK YANG TERLAHIR HARAM
Sumber Gambar: Islam44
TAK ADA ANAK YANG TERLAHIR HARAM - Cerita ini datang dari seorang perempuan yang mengirimkan kisah hidupnya pada seorang teman melalui surat elektronik (e-mail). Dari cerita ini ada sebuah hikmah menarik yang dapat diambil. Semoga dari cerita ini dapat bermanfaat bagi yang membacanya. 

Siapapun yang mengenal diriku pasti menyebutku adalah wanita yang sempurna. Dibesarkan di lingkungan keluarga yang berkecukupan, dikelilingi orang-orang yang mencintaiku, memiliki segudang prestasi, mendapatkan pekerjaan yang bagus dan sahabat-sahabatku berlimpah.

Sejak kecil aku selalu merasa dicintai dan hidupku benar-benar lengkap sempurna setelah aku mendapatkan jodoh suami yang begitu baik dan mencintai diriku.

Aku terlahir menjadi seseorang yang ceria, pribadi yang menyenangkan dan periang. Aku suka sekali tertawa dan menghibur orang-orang di sekelilingku.

Sesekali bersikap manja, itupun hanya pada keluarga dan suamiku. Aku benar-benar bahagia lahir dan batin. Tak pernah sekalipun aku berhenti bersyukur untuk semua yang diberikan Allah padaku.

Sampai suatu ketika di hari ulangtahunku yang ke-28, aku mendapat sebuah kado. Kado itu bukanlah hadiah berupa benda. Kado itu adalah ucapan selamat yang dibarengi dengan tersingkapnya sebuah rahasia keluarga. Rahasia lama yang dipendam kedua orangtuaku dalam-dalam di hati mereka.

Di tengah pesta Barbeque yang diadakan di rumahku, bertepatan dengan hari ulangtahun sekaligus ulangtahun pernikahanku yang ke-4, aku mendapat telepon itu. Ketika itu si penelepon langsung mengucapkan “Selamat Ulang Tahun, Fitriani! Sudah saatnya kamu tahu kalau kamu adalah anak haram Ayahmu, anak hasil selingkuhannya.” Dan telepon langsung ditutup.

Aku tertawa dan berpikir ini pasti orang iseng atau salah satu temanku yang ingin mengerjai. Tanpa mengambil hati apapun kata si penelepon, aku kembali menikmati pesta. Bercanda, bergembira dan melepas rindu dengan orang-orang yang kusayangi, Ibu, Ayah, ketiga adikku, suami, dan bayi mungilku.

Itu adalah salah satu ulang tahun terindah dalam hidupku. Aku bahkan bernyanyi bersama Ayah, berjoget gembira bersama adik-adikku dan pesta itu berakhir dengan permainan air memakai selang taman, kami semua saling membalas menyiram setelah mereka membuatku basah dengan seember air.

Pesta sudah usai ketika aku membersihkan dapur bersama Ibu. Awalnya kami hanya sekedar membicarakan berita-berita terbaru seputar keluarga, film terbaru untuk kami tonton bersama sampai kemudian tanpa sengaja aku menceritakan soal si penelepon.

Aku sedang mencuci piring dan saat aku setengah bercerita, Ibu menjatuhkan seluruh piring kotor yang akan dibawanya padaku ke lantai. Ibu berdiri di tengah dapur, tubuhnya gemetar dan wajahnya pucat pasi. Saat itu hatiku bisa merasakan ada yang salah. Tapi sungguh, aku sendiri takut mendengar kebenarannya.

Keceriaan yang sepanjang hari mewarnai rumahku, hilang dalam sekejap. Ibu terus menangis dalam pelukan Ayah tanpa kuketahui sebabnya. Semua anggota keluarga bertanya ada apa. Tapi aku tak sanggup berucap. Lalu menjelang tengah malam, terungkaplah semua rahasia itu di hadapan suami dan ketiga adik-adikku.

Aku, adalah anak Ayah dari seorang perempuan lain. Ibuku bukan Ibu yang sekarang sedang menangis pilu di hadapanku. Perempuan itu lebih muda sepuluh tahun lebih muda dari Ibu dan dia meninggal dunia saat melahirkan aku.

Tujuh hari setelah kelahiranku, Ayah baru tahu soal keberadaanku dan ia mengambilku dari Rumah Sakit setelah tak seorangpun dari keluarga perempuan itu mau mengurusku.

Seperti ditusuk ribuan jarum dalam jantungku, seperti dihujani airmata darah, seperti dilempari ratusan batu, aku jatuh pingsan saat mendengarnya. Kenyataan yang tak pernah bisa kubayangkan. Meskipun terbangun dalam pelukan Ibu, aku tahu aku bukanlah aku yang sama lagi.

Entah bagaimana aku harus mengembalikan kebahagiaanku lagi. Aku menangis, menyesali diri dan mengulang kembali semua ingatanku sedari aku kecil dulu. Sungguh tak mudah mengingat kasih sayang yang kuterima selama ini. Setiap ulang tahunku, Ibu selalu merayakannya dengan gembira.

Perempuan itu selalu menyiapkan sendiri semua pesta itu bahkan ketika remaja berkali-kali Ibu memberiku kejutan Pesta Ulang Tahun meski saat itu aku sudah tak lagi begitu menginginkannya.

Bagaimana Ibu bisa terlihat begitu bahagia di setiap foto-foto yang terabadikan di album foto keluarga?sementara aku tahu sebagai istri takkan mudah bagi siapapun untuk menerima kehadiran seorang anak haram sepertiku.

Anak haram, cap baru yang kini terpaksa kuterima itu benar-benar melukai hatiku. Aku tak tahu harus bagaimana agar darah yang mengalir dalam tubuhku bisa terkuras habis. Aku membenci kenyataan itu, aku benci aku tak terlahir dari rahim perempuan seperti Ibu yang kukenal selama ini.

Ibu yang memperlakukanku bagai seorang putri yang hidup di dunia impian setiap anak. Bahkan kini setelah semua yang terungkap, aku merasakan kasih sayang Ibu bukanlah kasih sayang biasa. Ibu adalah seorang malaikat.

Ketika kecil, Ibu selalu bilang aku adalah anak yang sering sekali sakit dan rapuh secara fisik. Ibu hafal semua obatku, ia mengingat semua yang harus ia lakukan agar aku tetap sehat. Aku ingat saat Ibu memberi sederet peringatan ketika aku sekolah pertama kali.

“Fitri tak boleh jajan es, Fitri tak boleh main berpanas-panas di halaman sekolah, bekal makanannya dihabiskan dan kalau Fitri takut atau apa, Ibu ada di luar menunggu.” Saat itu Ibu menungguiku sampai sekolah usai, dengan rela berpanas-panas di luar kelas hanya agar memastikan aku menikmati sekolah.

Menjelang remaja, saat aku mulai menunjukkan prestasiku. Ibu selalu setia mendampingiku dalam setiap acara atau lomba yang kuikuti. Ibu di sana memberiku support, memacu semangat dan selalu membantuku.

Bahkan walaupun saat itu adik-adik juga sudah ada, Ibu masih menyempatkan diri mengurus keperluanku. Terus terang, aku berusaha keras mencapai prestasiku selama ini bukan karena keinginanku sendiri tapi karena aku ingin membuat Ibu bangga. Semakin sering Ibu mengatakan ia bangga padaku, semakin ingin aku mempersembahkan banyak prestasi untuknya.

Ibu mendampingiku saat aku menikah. Ibu memelukku dengan kuat saat aku menangis berpamitan padanya. Ia begitu terharu saat aku mencium kakinya, berterima kasih untuk semua kasih sayang yang ia berikan padaku.

Sepanjang hidupku, aku merasakan kesempurnaan Ibu sebagai orangtuaku. Kesempurnaan itu ia tunjukkan lagi saat kembali mendampingiku melahirkan bayiku. Berbagai ilmu dan pengetahuan menjadi orangtua yang ia ketahui, ia tularkan padaku dalam masa-masa persiapan itu.

Kini, di tengah kebahagiaan itu datanglah kenyataan menyakitkan ini. Bagaimana aku bisa melihat Ayah tanpa merasa marah? Bagaimana aku bisa melihat Ibu tanpa merasa tidak bersalah karena kehadiranku berarti Ibu mengingat pengkhianatan Ayah? Bagaimana aku bisa melihat ketiga adikku tanpa merasa tidak enak karena membagi kasih Ibu padaku?

Bagaimana aku bisa melihat suamiku tanpa merasa takut ia akan mengkhianatiku seperti Ayah? Bagaimana aku bisa melihat bayiku tanpa merasa tidak pantas menjadi Ibunya? Bagaimana aku bisa kembali pada kehidupanku sebelumnya?

Dan aku memilih mengurung diri, menangisi kehadiranku, menyesali semua yang telah Allah berikan padaku. Tidak adil setelah mengetahui semua ini aku masih berharap menjadi bagian dari keluarga besarku.

Aku tak seharusnya berada di tengah mereka. Aku seharusnya menyingkir, karena hidupku yang sesungguhnya bukanlah yang aku nikmati selama ini. Menghindari Ibu, Ayah dan ketiga adikku adalah satu-satunya jalan menyingkir dari mereka.

Tapi aku salah. Secara bergantian mereka berusaha keras berbicara padaku. Meski kukunci pintu kamar, tapi suamiku membantu mereka. Tanpa perduli aku bertambah marah, ia menyuruh mereka semua menemuiku satu persatu.

Malaikat yang kupanggil Ibu itu mengatakan, “Sejak pertama Ibu menggendongmu, tak ada satu haripun Ibu menyesali kehadiranmu. Tak ada satu haripun ibu menyesali keputusan Ibu membesarkanmu. Tak ada satu haripun Ibu merasa kau adalah anak orang lain.

Ibulah yang memberimu nama Fitri, yang berarti suci karena Ibu selalu menganggap setiap anak selalu terlahir suci. Jangan pernah merasa bersalah, karena setiap kali Ibu melihatmu, Ibu melihat kaulah salah satu tempat ibu berharap surga.”

Dan Ayah bilang, “Ayah minta maaf karena telah melakukan dosa itu. Tapi seandainya saat itu diberitahu, Ayah akan tetap mempertahankanmu. Ayah akan mengurus Ibu kandungmu, Ayah akan berusaha keras menjaga kalian semua.

Buat Ayah, Ibu kandungmu adalah perempuan baik yang memberi hadiah cinta terbaik untuk Ayah dan Ibu yang sekarang adalah perempuan baik yang merawat cinta itu dengan ikhlas. Ayah menyayangi mereka semua dan Ayah sungguh-sungguh minta maaf padamu, nak.”

Ketiga adikku tak bisa berkata apa-apa. Mereka hanya memelukku dan menangis bersamaku. Tapi ketika tangis itu mereda, salah satu adik laki-lakiku berbisik dalam suara gemetar.

“Buat kami, kak Fitri adalah kakak kami dulu dan selamanya. Kakak terbaik yang pernah kami punya. Kakak sudah melakukan banyak hal dan kami takkan bisa melupakannya dengan satu kenyataan saja.

Kakak selalu bersama kami dalam berbagai suka dan duka, saling membantu dan saling menjaga selama bertahun-tahun, kami takkan pernah lupa itu. Buat kami yang terpenting adalah perasaan kakak. Tetap jadilah kakak kami yang dulu, kak. Kakak yang sok tahu, yang suka iseng tapi selalu mencintai kami apa adanya dan selalu menjadi tempat kami mengadu setiap kali kami sedang susah.”

Dan yang terakhir berusaha mengeluarkanku dari jurang keputusasaan adalah suamiku. “Tak ada seorangpun di dunia ini bisa memilih orangtua mereka, itu adalah takdir. Kematian Ibu kandungmu, rumah tangga Ayah dan Ibu tirimu, pertemuan kita, semua adalah takdir. Kita tak bisa menentang kehendakNya.

Tapi itu bukanlah hal terpenting. Yang penting itu bagaimana kau membuat pilihan dalam hidupmu sendiri. Hiduplah seperti sebelum kau mengetahui semua ini, sayang. Karena menurut kami, saya dan seluruh orang yang mencintaimu, itulah bagian terbaik dari dirimu.

Jadikanlah semua ini, rahasia ini sebagai pelajaranmu di masa mendatang. Cobaan dan ujian itu adalah pelajaran dari Allah agar kita menjadi manusia yang lebih bijaksana bukan justru menjadi terpuruk dan menjadi orang yang putus asa.”

Dengan ragu kutatap wajahnya yang tersenyum tulus padaku. “Lalu kalau anak kita bertanya soal rahasia itu, aku harus bilang apa?”

Kekasih hatiku itu memeluk dengan hangat. “Katakan bahwa kau memiliki dua orang Ibu. satu yang memberimu kehidupan, satu lagi yang menjagamu dalam kehidupan. Katakan bahwa tak ada seorang anakpun di dunia ini seberuntung dirimu, dan kau ingin anak kita … tidak, tidak, anak-anak kita nanti … merasakan semua yang kau rasakan itu meskipun punya satu Ibu,” ucapnya lembut sembari mengelus rambutku.

“Dan buat saya, mencintaimu bukan hanya cara untuk menunjukkan arti dirimu untuk saya. Tapi untuk menunjukkan pada Ibu, betapa saya sangat menghormati dan menghargai Ibu untuk semua pengorbanan dan kerja kerasnya mendidik seorang ibu dan seorang istri selama ini.

Saya semakin mencintaimu dan ingin terus menunjukkan betapa beruntungnya saya memiliki seorang istri yang begitu dicintai keluarganya tanpa memperdulikan asal usulnya.”

Kehangatan itu mengobati hatiku perlahan-lahan. Meski masih teramat sulit menerima, aku mencoba memahami posisi Ayah dan mempercayai semua kasih sayang yang pernah diberi Ibu untukku semuanya berasal dari hatinya.

Aku tahu aku perlu waktu, sama seperti seluruh keluargaku saat menerima berita itu. Perasaan dibohongi selama bertahun-tahun masih sering melanda dan mengundang kesedihan itu datang lagi. Tapi itu tak lagi penting. Mengenang masa lalu hanya akan menambah luka hati, membuat masa depan yang indah itu adalah tujuan hidupku yang baru.

Tak ada yang membuatku lebih berterimakasih ketika orang-orang yang kusayangi, keluarga besarku yang tak pernah sedikitpun mengubah cara mereka memperlakukan diriku.

Karena cinta dan kasih sayang itu berarti menerima kelebihan sekaligus kekurangan sebagai bagian dari diri seseorang. Tak ada manusia sempurna dan Allah telah mengingatkan aku dengan ujiannya kali ini.



Sumber: Forum Inspirasi
Read More …
Categories: ,

KETENANGAN HATI
Sumber Gambar: Paculdoran
KETENANGAN HATISudah lama Abu nawas tidak dipanggil ke istana untuk menghadap Baginda. Abunawas juga sudah lama tidak muncul di kedai teh. Kawan-kawan Abunawas banyak yang merasa kurang bergairah tanpa kehadiran Abu nawas. Tentu saja keadaan kedai tak semarak karena Abu nawas si pemicu tawa tidak ada. 

Suatu hari ada seorang laki-laki setengah baya ke kedai teh menanyakan Abu nawas. la mengeluh bahwa ia tidak menemukan jalan keluar dari rnasalah pelik yang dihadapi. 

Salah seorang teman Abunawas ingin mencoba menolong. 

"Cobalah utarakan kesulitanmu kepadaku barang-kali aku bisa membantu." kata kawan Abunawas. 

"Baiklah. Aku mempunyai rumah yang amat sempit. Sedangkan aku tinggal bersama istri dan kedelapan anak-anakku. Rumah itu kami rasakan terlalu sempit sehingga kami tidak merasa bahagia." kata orang itu membeberkan kesulitannya. 

Kawan Abunawas tidak mampu memberikanjalan keluar, juga yang lainnya. Sehingga mereka menyarankan agar orang itu pergi menemui Abunawas di rumahnya saja. 

Orang itu pun pergi ke rumah Abunawas. Dan kebetulan Abu Nawas sedang mengaji. Setelah mengutarakan kesulitan yang sedang dialami, Abunawas bertanya kepada orang itu. 

"Punyakah engkau seekor domba?" 

"Tidak tetapi aku mampu membelinya." jawab orang itu. 

"Kalau begitu belilah seekor dan tempatkan domba itu di dalam rumahmu." Abunawas menyarankan. 

Orang itu tidak membantah. la langsungmembeli seekor domba seperti yang disarankan Abunawas. 

Beberapa hari kemudian orang itu datang lagi menemui Abu Nawas. 

"Wahai Abunawas, aku telah melaksanakan saranmu, tetapi rumahku bertambah sesak. Aku dan keluargaku merasa segala sesuatu menjadi lebih buruk dibandingkan sebelum tinggal bersama domba." kata orang itu mengeluh. 

"Kalau begitu belilah lagi beberapa ekor unggas dan tempatkan juga mereka di dalam rumahmu:" kata Abunawas. 

Orang itu tidak membantah. la langsungmembeli beberapa ekor unggas yang kemudian dimasukkan ke dalam rumahnya. Beberapa hari kemudian orang itu datang lagi ke rumah Abu Nawas. 

"Wahai Abu Nawas,aku telah melaksanakan saran-saranmu dengan menambah penghuni rumahku dengan beberapa ekor unggas. Namun begitu aku dan keluargaku semakin tidak betah tinggal di rumah yang makin banyak perighuninya. Kami bertambah merasa tersiksa." kata orang itu dengan wajah yang semakin muram. 

"Kalau begitu belilah seekor anak unta dan peliharalah di dalam rumahmu."kata Abu Nawas menyarankan Orang itu tidak membantah. la langsung ke pasar hewan membeli seekor anak unta untuk dipelihara di dalam rumahnya. 

Beberapa hari kemudian orang itu datang lagi menemui Abu Nawas. la berkata, 

"Wahai Abu Nawas, tahukah engkau bahwa keadaan di dalam rumahku sekarang hampir seperti neraka. Semuanya berubah menjadi lebih mengerikan dari pada hari-hari sebelumnya. Wahai Abu Nawas, kami sudah tidak tahan tinggal serumah dengan binatang-binatang itu." kata orang itu putus asa. 

"Baiklah, kalau kalian sudah merasa tidak tahan maka juallah anak unta itu." kata Abu Nawas. 

Orang itu tidak membantah. la langsung menjual anak unta yang baru dibelinya. 

Beberapa hari kemudian Abu Nawas pergi ke rumah orang itu 

"Bagaimana keadaan kalian sekarang?" Abu Nawas bertanya. 

"Keadaannya sekarang lebih baik karena anak unta itu sudah tidak lagi tinggal disini." kata orang itu tersenyum. "Baiklah, kalau begitu sekarang juallah unggas-unggasmu." kata Abu Nawas. 

Orang itu tidak membantah. la langsung menjual unggas-unggasnya. 

Beberapa hari kemudian Abu Nawas mengunjungi orang itu. 

"Bagaimana keadaan rumah kalian sekarang ?" Abu Nawas bertanya. 

"Keadaan sekarang lebih menyenangkan karena unggas-unggas itu sudah tidak tinggal bersama kami." kata orang itu dengan wajah ceria. 

"Baiklah kalau begitu sekarang juallah domba itu." kata Abu Nawas.

Orang itu tidak membantah. Dengan senang hati ia langsung menjual dombanya. 

Beberapa hari kemudian Abu Nawas bertamu ke rumah orang itu. la bertanya, 

"Bagaimana keadaan rumah kalian sekarang ?" "Kami merasakan rumah kami bertambah luas karena binatang-binatang itu sudah tidak lagi tinggal bersama kami. Dan kami sekarang merasa lebih berbahagia daripada dulu. Kami mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepadamu hai Abu Nawas." kata 
orang itu dengan wajah berseri-seri. 

"Sebenarnya batas sempit dan luas itu tertancap dalam pikiranmu. Kalau engkau selalu bersyukur atas nikmat dari Tuhan maka Tuhan akan mencabut kesempitan dalam hati dan pikiranmu." kata Abu Nawas menjelaskan. 

Dan sebelum Abu Nawas pulang, ia bertanya kepada orang itu, 

"Apakah engkau sering berdoa ?" 

"Ya." jawab orang itu. 

"Ketahuilah bahwa doa seorang hamba tidak mesti diterima oleh Allah karena manakala Allah membuka pintu pemahaman kepada engkau ketika Dia tidak memberi engkau, maka ketiadaan pemberian itu merupakan pemberian yang sebenarnya." 


Sumber: Kisak 1001 Malam Abunawas Sang Penggeli Hati
Read More …
Categories: ,

DI MANA KITA MENEMUKAN KEBAHAGIAAN
Sumber Gambar: Sabrina Campagna
DI MANA KITA MENEMUKAN KEBAHAGIAANKonon pada suatu waktu, Tuhan memanggil tiga malaikatnya. Sambil memperlihatkan sesuatu Tuhan berkata, “Ini namanya Kebahagiaan. Ini sangat bernilai sekali. Ini dicari dan diperlukan oleh manusia. Simpanlah di suatu tempat supaya manusia sendiri yang menemukannya. Jangan ditempat yang terlalu mudah sebab nanti kebahagiaan ini disia-siakan. Tetapi jangan pula di tempat yang terlalu susah sehingga tidak bisa ditemukan oleh manusia. Dan yang penting, letakkan kebahagiaan itu di tempat yang bersih”.

Setelah mendapat perintah tersebut, turunlah ketiga malaikat itu langsung ke bumi untuk meletakkan kebahagiaan tersebut. Tetapi dimana meletakkannya? Malaikat pertama mengusulkan,

“Letakan dipuncak gunung yang tinggi”. Tetapi para malaikat yang lain kurang setuju. Lalu malaikat kedua berkata, “Latakkan di dasar samudera”. Usul itupun kurang disepakati. 

Akhirnya malaikat ketiga membisikkan usulnya. Ketiga malaikat langsung sepakat. Malam itu juga ketika semua orang sedang tidur, ketiga malaikat itu meletakkan kebahagiaan di tempat yang dibisikkan tadi.

Sejak hari itu kebahagiaan untuk manusia tersimpan rapi di tempat itu. Rupanya tempat itu cukup susah ditemukan. Dari hari ke hari, tahun ke tahun, kita terus mencari kebahagiaan. Kita semua ingin menemukan kebahagiaan. Kita ingin merasa bahagia. Tapi dimana mencarinya?Ada yang mencari kebahagiaan sambil berwisata ke gunung, ada yang mencari di pantai, Ada yang mencari ditempat yang sunyi, ada yang mencari ditempat yang ramai. Kita mencari rasa bahagia di sana-sini: di pertokoan, di restoran, ditempat ibadah, di kolam renang, di lapangan olah raga, di bioskop, di layar televisi, di kantor, dan lainnya. Ada pula yang mencari kebahagiaan dengan kerja keras, sebaliknya ada pula yang bermalas-malasan. Ada yang ingin merasa bahagia dengan mencari pacar, ada yang mencari gelar, ada yang menciptakan lagu, ada yang mengarang buku, dll.

Pokoknya semua orang ingin menemukan kebahagiaan. Pernikahan misalnya, selalu dihubungkan dengan kebahagiaan. Orang seakan-akan beranggapan bahwa jika belum menikah berarti belum bahagia. Padahal semua orang juga tahu bahwa menikah tidaklah identik dengan bahagia. Juga kekayaan sering dihubungkan dengan kebahagiaan. Alangkah bahagianya kalu aku punya ini atau itu, pikir kita. Tetapi kemudian ketika kita sudah memilikinya, kita tahu bahwa benda tersebut tidak memberi kebahagiaan. Kita ingin menemukan kebahagiaan. Kebahagiaan itu diletakkan oleh tiga malaikat secara rapi. Dimana mereka meletakkannya?

Bukan dipuncak gunung seperti diusulkan oleh malaikat pertama. Bukan didasar samudera seperti usulan malaikat kedua. Melainkan di tempat yang dibisikkan oleh malaikat ketiga. Dimanakah tempatnya??? ada yang tahu??? Tempatnya adalah di “ hati yang bersih”


Sumber: Dr. Sudarmono
Read More …
Categories: ,


TIPS MENULIS: JEBAKAN DALAM TULISAN
Sumber Gambar: Larry

Membuat Jebakan dalam tulisan
oleh Isa Alamsyah


TIPS MENULIS: JEBAKAN DALAM TULISAN - Dulu sekali, saya membaca sebuah cerpen di Kompas. Kisahnya tentang seorang pemuda yang mau pergi haji.Tiket sudah siap, visa sudah keluar, koper dan kebutuhan lain sudah lengkap. Pokoknya tinggal beragkat.

Tapi ada yang membuat ia risau. Ayahnya sakit keras dan tidak mau terpisah dengannya walau sehari saja. Ia anak tunggal, sekalipun ada perawat atau pembantu, kehadirannya tidak tergantikan.

Singkat cerita ia selalu mencari cara agar ada bisa meninggalkan ayahnya dengan tenang untuk pergi haji, doa pun tak lepas dari keseharian.

Suatu hari ada keramaian di depan rumah sang pemuda. Tetangga sibuk memasang tenda dan menggelar kursi-kursi plastik. Bendera kuning dipasang diujung jalan dan di pagar rumah. Ambulan datang dan keranda pun masuk dan sesosok tubuh tanpa nyawa dipindahkan ke persemanyaman.

Sepasang mata menangis, air mata tak kunjung berhenti. Seorang ayah, tua, yang sakit keras, menangis menatap anaknya yang terbujur mati, karena sebuah kecelakaan. Pemuda itu mati sebelum sempat pergi haji.

Saat itu saya mengira akhirnya masalah terseselaikan karena ayahnya meninggal, seolah Allah memberinya kemudahan. Ternyata endingnya yang mati adalah sang anak yang kecelakaan sebelum pergi haji.

Kalau dianalisa, nampaknya si penulis sudah berencana demikain sejak awal. Si penulis memang ingin membuat si anak yang mati, tapi ia membuat jebakan-jebakan. detail bahwa anaknya sehat bapaknya sakit keras, detail yang membuat pembaca berharap si anak pergi haji, dan memberikan banyak detail yang membuat kita percaya bahwa si ayah sakit keras akan meninggal dalam waktu singkat. Jadi sudah disiapkan berbagai jebakan yang masuk akal, dan akhirnya pembaca tertipu dan kaget dengan endingnya.

Beberapa hari lalu saya juga terima BBM iseng. Biasa lah, kita semua sering menerima broadcast kocak kan dari teman-teman di BBM? Anggap saja saat ini kamu terima bbm dan membaca pesan ini":

"Mari kita belajar bahasa Mandarin 'Fresh and Fun.' And pasti bisa dalam 1 menit.

Tidak izin : Lu lan chang
Tidak setia : Lu she rong
Badan gede : Lu king kong
Tidak sopan : Lu sin chan
Tidak tahu diri : Lu xia lan
Yang norak : Wong kam fung
Yang jago : Wong fei hung
Yang suka BBM : Wong san thai
Yang suka ngerjain : Wong ie sheng
Yang banyak duit : Wong Zhu Gieh
Yang ngirim BBM : Wong khe ren..
Yang baca bbm : Wong nganggur

Ketika pesan ini dibuat sejak awal yang ngarang ingin bilang 'saya yang ngirim bbm orang keren' dan 'kamu yang baca bbm orang nganggur', tapi si pengarang membuat jebakan seolah-olah ini sekedar lucu-lucuan tapi ada serangan tak terduga ada di akhir.Kalau yang baca BBM sampai ngomong dalam hati: rese, sialan, konyol, itu berarti jebakannya berhasil.

Asma Nadia juga menerapkan ini dalam beberapa cerpennya, tidak semua, karena memang tidak semua cerpen harus memakai teknik ini.Tapi kalau kita membaca cerpen Ibu Pergi Sebulan (di buku kumpulan cerpen Ummi), atau Meminang Bidadari, teknik ini dipakai.

Nah sekarang kalau kamu mau meningkatkan kemampuan menulis dan membuat cerita coba buat jebakan dalam karya. Kalau berhasil maka endingnya jadi tidak terduga dan pembaca puas kalau tertipu.

Rumusnya
Saya mau endingnya A tapi saya maunya pembaca mengira B karena itu saya beri sedikit clue (petunjuk/lanjaran) tentang A tapi memberi banyak jebakan yang membuat percaya akan terjadi B, Setelah endingnya ternyata A, pembaca tertipu tapi berkata oh iya ya ada detail kecil yang saya luput.

Selamat mencoba!


Sumber: Asma Nadia
Read More …
Categories: ,

KISAH SHALAWAT NABI DAN SEORANG NENEK TUA
Sumber Gambar: Google Image

STORY OF THE MUHAMMAD SAW PROPHET SHALAWAT AND AN OLD GRANDMA


Kisah Shalawat Nabi dan Seorang Nenek TuaDi sebuah kota di Madura, ada seorang nenek tua penjual bunga cempaka. Ia menjual bunganya di pasar, setelah berjalan kaki cukup jauh. Usai jualan, ia pergi ke masjid Agung di kota itu.

Ia berwudhu, masuk masjid, dan melakukan salat Zhuhur. Setelah membaca wirid sekedarnya, ia keluar masjid dan membungkuk-bungkuk di halaman masjid. Ia mengumpulkan dedaunan yang berceceran di halaman masjid.

Selembar demi selembar dikaisnya. Tidak satu lembar pun ia lewatkan. Tentu saja agak lama ia membersihkan halaman masjid dengan cara itu. Padahal matahari Madura di siang hari sungguh menyengat. Keringatnya membasahi seluruh tubuhnya. Banyak pengunjung masjid jatuh iba kepadanya.

Pada suatu hari Takmir masjid memutuskan untuk membersihkan dedaunan itu sebelum perempuan tua itu datang. Pada hari itu, ia datang dan langsung masuk masjid. Usai salat, ketika ia ingin melakukan pekerjaan rutinnya, ia terkejut.

Tidak ada satu pun daun terserak di situ. Ia kembali lagi ke masjid dan menangis dengan keras. Ia mempertanyakan mengapa daun-daun itu sudah disapukan sebelum kedatangannya. Orang-orang menjelaskan bahwa mereka kasihan kepadanya.

“Jika kalian kasihan kepadaku,” kata nenek itu, “Berikan kesempatan kepadaku untuk membersihkannya.”

Singkat cerita, nenek itu dibiarkan mengumpulkan dedaunan itu seperti biasa. Seorang kiai terhormat diminta untuk menanyakan kepada perempuan itu mengapa ia begitu bersemangat membersihkan dedaunan itu.

Perempuan tua itu mau menjelaskan sebabnya dengan dua syarat, pertama, hanya Kiai yang mendengarkan rahasianya, kedua, rahasia itu tidak boleh disebarkan ketika ia masih hidup. Sekarang ia sudah meniggal dunia, dan Anda dapat mendengarkan rahasia itu.

“Saya ini perempuan bodoh, pak Kiai,” tuturnya. “Saya tahu amal-amal saya yang kecil itu mungkin juga tidak benar saya jalankan. Saya tidak mungkin selamat pada hari akhir tanpa syafaat Kanjeng Nabi Muhammad saw.

Setiap kali saya mengambil selembar daun, saya ucapkan satu shalawat kepada Rasulullah. Kelak jika saya mati, saya ingin Kanjeng Nabi menjemput saya. Biarlah semua daun itu bersaksi bahwa saya membacakan shalawat kepadanya.”

Perempuan tua dari kampung itu bukan saja mengungkapkan cinta Rasul dalam bentuknya yang tulus. Ia juga menunjukkan kerendahan hati, kehinaan diri, dan keterbatasan amal dihadapan Allah swt.

Lebih dari itu, ia juga memiliki kesadaran spiritual yang luhur. Ia tidak dapat mengandalkan amalnya. Ia sangat bergantung pada rahmat Allah. Dan siapa lagi yang menjadi rahmat semua alam selain Rasulullah saw.


Sumber: Forum Islam
Read More …
Categories: ,

5 HAL YANG DIINGAT UMAR BIN KHATAB R.AATAS KECEREWETAN SANG ISTRI
Sumber Gambar: Googel Image
Lima Hal Yang Diingat Umar Bin Khatab R.A atas Kecerewetan Sang Istri - Seorang laki-laki berjalan tergesa-gesa menuju kediaman Khalifah Umar bin Khatab r.a. Ia ingin mengadu pada Khalifah; tak tahan dengan kecerewetan istrinya. Begitu sampai di depan rumah khalifah, laki-laki itu tertegun.

Dari dalam rumah terdengar istri Khalifah Umar bin Khatab r.a sedang ngomel, marah-marah. Cerewetnya melebihi istri yang akan diadukannya pada Umar. Tapi, tak sepatah katapun terdengar keluhan dari mulut khalifah. Umar diam saja, mendengarkan istrinya yang sedang gundah. Akhirnya lelaki itu mengurungkan niatnya, batal melaporkan istrinya pada Umar.

Apa yang membuat seorang Khalifah Umar bin Khatab r.a yang disegani kawan maupun lawan, berdiam diri saat istrinya ngomel? Mengapa ia hanya mendengarkan, padahal di luar sana, ia selalu tegas pada siapapun?

Umar berdiam diri karena ingat 5 hal.

1. Benteng Penjaga Api Neraka
Kelemahan laki-laki ada di mata. Jika ia tak bisa menundukkan pandangannya, niscaya panah-panah setan berlesatan dari matanya, membidik tubuh-tubuh elok di sekitarnya.

Panah yang tertancap membuat darah mendesir, bergolak, membangkitkan raksasa dalam dirinya. Sang raksasa dapat melakukan apapun demi terpuasnya satu hal; syahwat. Adalah sang istri yang selalu berada di sisi, menjadi ladang bagi laki-laki untuk menyemai benih, menuai buah di kemudian hari.

Adalah istri tempat ia mengalirkan berjuta gelora. Biar lepas dan bukan azab yang kelak diterimanya Ia malah mendapatkan dua kenikmatan: dunia dan akhirat. Maka, ketika Umar terpikat pada liukan penari yang datang dari kobaran api, ia akan ingat pada istri, pada penyelamat yang melindunginya dari liukan indah namun membakar. Bukankah sang istri dapat menari, bernyanyi dengan liukan yang sama, lebih indah malah. Membawanya ke langit biru. Melambungkan raga hingga langit ketujuh. Lebih dari itu istri yang salihah selalu menjadi penyemangatnya dalam mencari nafkah.

2. Pemelihara Rumah
Pagi hingga sore suami bekerja dan berpeluh. Terkadang sampai mejelang malam. Mengumpulkan harta. Setiap hari selalu begitu. Ia pengumpul dan terkadang tak begitu peduli dengan apa yang dikumpulkannya. Mendapatkan uang, beli ini beli itu. Untunglah ada istri yang selalu menjaga, memelihara. Agar harta diperoleh dengan keringat, air mata, bahkan darah tak menguap sia-sia Ada istri yang siap menjadi pemelihara selama 24 jam, tanpa bayaran.

Jika suami menggaji seseorang untuk menjaga hartanya 24 jam, dengan penuh cinta, kasih sayang, dan rasa memiliki yang tinggi, siapa yang sudi? Berapa pula ia mau dibayar. Niscaya sulit menemukan pemelihara rumah yang lebih telaten daripada istrinya. Umar ingat betul akan hal itu. Maka tak ada salahnya ia mendengarkan omelan istri, karena (mungkin) ia lelah menjaga harta-harta sang suami yang semakin hari semakin membebani.

3. Penjaga Penampilan
Umumnya laki-laki tak bisa menjaga penampilan. Kulit legam tapi berpakaian warna gelap. Tubuh tambun malah suka baju bermotif besar. Atasan dan bawahan sering tak sepadan. Untunglah suami punya penata busana yang setiap pagi menyiapkan pakaiannya, memilihkan apa yang pantas untuknya, menjahitkan sendiri di waktu luang, menisik bila ada yang sobek. Suami yang tampil menawan adalah wujud ketelatenan istri. Tak mengapa mendengarnya berkeluh kesah atas kecakapannya itu

4. Pengasuh Anak-anak
Suami menyemai benih di ladang istri. Benih tumbuh, mekar. Sembilan bulan istri bersusah payah merawat benih hingga lahir tunas yang menggembirakan. Tak berhenti sampai di situ. Istri juga merawat tunas agar tumbuh besar. Kokoh dan kuat. Jika ada yang salah dengan pertumbuhan sang tunas, pastilah istri yang disalahkan. Bila tunas membanggakan lebih dulu suami maju ke depan, mengaku, ?akulah yang membuatnya begitu.? Baik buruknya sang tunas beberapa tahun ke depan tak lepas dari sentuhan tangannya. Khalifah Umar bin Khatab r.a paham benar akan hal itu.

5. Penyedia Hidangan
Pulang kerja, suami memikul lelah di badan. Energi terkuras, beraktivitas di seharian. Ia butuh asupan untuk mengembalikan energi. Di meja makan suami cuma tahu ada hidangan: ayam panggang kecap, sayur asam, sambal terasi dan lalapan. Tak terpikir olehnya harga ayam melambung; tadi bagi istrinya sempat berdebat, menawar, harga melebihi anggaran. Tak perlu suami memotong sayuran, mengulek bumbu, dan memilah-milih cabai dan bawang. Tak pusing ia memikirkan berapa takaran bumbu agar rasa pas di lidah. Yang suami tahu hanya makan. Itupun terkadang dengan jumlah berlebihan; menyisakan sedikit saja untuk istri si juru masak. Tanpa perhitungan istri selalu menjadi koki terbaik untuk suami. Mencatat dalam memori makanan apa yang disuka dan dibenci suami.

Dengan mengingat lima peran ini, Khalifah Umar bin Khatab r.a kerap diam setiap istrinya ngomel. Mungkin dia capek, mungkin dia jenuh dengan segala beban rumah tangga di pundaknya. Istri telah berusaha membentenginya dari api neraka, memelihara hartanya, menjaga penampilannya, mengasuh anak-anak, menyediakan hidangan untuknya. Untuk segala kemurahan hati sang istri, tak mengapa ia mendengarkan keluh kesah buah lelah.

Umar hanya mengingat kebaikan-kebaikan istri untuk menutupi segala cela dan kekurangannya. Bila istri sudah puas menumpahkan kata-katanya, barulah ia menasehati, dengan cara yang baik, dengan bercanda. Hingga tak terhindar pertumpahan ludah dan caci maki tak terpuji. Akankah suami-suami masa kini dapat mencontoh perilaku Khalifah Umar bin Khatab r.a ini. Ia tak hanya berhasil memimpin negara tapi juga menjadi imam idaman bagi keluarganya.


Sumber: Forum sebelah
Read More …
Categories: ,

HADIAH SANG AYAH
Sumber Gambar: Google Image
HADIAH SANG AYAHSeorang pemuda sebentar lagi akan di wisuda, sebentar lagi dia akan menjadi seorang sarjana, akhir jerih payahnya selama beberapa tahun di bangku pendidikan. Beberapa bulan yang lalu dia melewati sebuah showroom, dan saat itu dia jatuh cinta kepada sebuah mobil sport, keluaran terbaru dari Ford. Selama beberapa bulan dia selalu membayangkan, nanti pada saat wisuda ayahnya pasti akan membelikan mobil itu kepadanya. Dia yakin, karena dia anak satu-satunya dan ayahnya sangat sayang padanya, sehingga dia yakin banget nanti dia pasti akan mendapatkan mobil itu.

Diapun berangan-angan mengendarai mobil itu, bersenangsenang dengan teman-temannya. Bahkan semua mimpinya itu dia ceritakan ke teman-temannya. Saatnya pun tiba, siang itu, setelah wisuda, dia melangkah pasti ke ayahnya.

Sang ayah tersenyum, dan dengan berlinang air mata karena terharu dia mengungkapkan betapa dia bangga akan anaknya, dan betapa dia mencintai anaknya itu. Lalu dia pun mengeluarkan sebuah bingkisan,... bukan sebuah kunci! Dengan hati yang hancur sang anak menerima bingkisan itu, dan dengan sangat kecewa dia membukanya. Dan dibalik kertas kado itu iamenemukan sebuah Alquran yang bersampulkan kulit asli, di kulit itu terukir indah namanya dengan tinta emas.

Pemuda itu menjadi marah, dengan suara yang meninggi dia berteriak, 

“Yaahh... Ayah memang sangat mencintai saya, dengan semua uang ayah, ayah belikan Alquran ini untukku?”

Lalu dia membanting Alquran itu dan lari meninggalkan ayahnya. Ayahnya tidak bisa berkata apa-apa, hatinya hancur, dia berdiri mematung ditonton beribu pasang mata yang hadir saat itu. Tahun demi tahun berlalu, sang anak telah menjadi seorang yang sukses. Dengan bermodalkan otaknya yang cemerlang dia berhasil menjadi seorang yang terpandang. Dia mempunyai rumah yang besar dan mewah, dan dikelilingi istri yang cantik dan anak-anak yang cerdas.

Sementara itu ayahnya semakin tua dan tinggal sendiri. Sejak hari wisuda itu, anaknya pergi meninggalkan dia dan tak pernah menghubungi dia. Dia berharap suatu saat dapat bertemu anaknya itu, hanya untuk meyakinkan dia betapa kasihnya pada anak itu. Sang anak pun kadang rindu dan ingin bertemu dengan sang ayah, tapi mengingat apa yang terjadi pada hari wisudanya, dia menjadi sakit hati dan sangat mendendam.

Sampai suatu hari datang sebuah telegram dari kantor kejaksaan yang memberitakan bahwa ayahnya telah meninggal, dan sebelum ayahnya meninggal, dia mewariskan semua hartanya kepada anak satu-satunya itu. Sang anak disuruh menghadap Jaksa wilayah dan bersama-sama ke rumah ayahnya untuk mengurus semua harta peninggalannya. Saat melangkah masuk ke rumah itu, mendadak hatinya menjadi sangat sedih, mengingat semua kenangan semasa dia tinggal disitu. Dia merasa sangat menyesal telah bersikap jelek terhadap ayahnya. Dengan bayangan-bayangan masa lalu yang menari-nari di matanya, dia menelusuri semua barang di rumah itu. Dan ketika dia membuka brankas ayahnya, dia menemukan Alquran itu, masih terbungkus dengan kertas yang sama beberapa tahun yang lalu.

Selesai dia membaca tulisan itu, sesuatu jatuh dari bagian belakang Alquran itu. Dia memungutnya.. sebuah kunci mobil! Di gantungan kunci mobil itu tercetak nama dealer, sama dengan dealer mobil sport yang dulu dia idamkan! Dia membuka halaman terakhir Alquran itu, dan menemukan di situ terselip STNK dan surat-surat lainnya, namanya tercetak di situ. Dan sebuah kwitansi pembelian mobil, tanggalnya tepat sehari sebelum hari wisuda itu. Dia berlari menuju garasi, dan di sana dia menemukan sebuah mobil yang berlapiskan debu selama bertahun-tahun, meskipun mobil itu sudah sangat kotor karena tidak disentuh bertahuntahun, dia masih mengenal jelas mobil itu, mobil sport yang dia dambakan bertahun-tahun lalu. Dengan buru-buru dia menghapus debu pada jendela mobil dan melongok ke dalam. Bagian dalam mobil itu masih baru, plastik membungkus jok mobil dan setirnya, di atas dashboardnya ada sebuah foto, foto ayahnya, sedang tersenyum bangga. Mendadak dia menjadi lemas, lalu terduduk disamping mobil itu, air matanya tidak terhentikan, mengalir terus mengiringi rasa menyesalnya yang tak mungkin diobati.


Sumber: Dr. Sudarmono
Read More …
Categories: ,

UJIAN ALLAH KEPADA SALAH SEORANG MUALAF MUSLIMAH ETNIS CINA
Sumber Gambar: Google Image

ALLAH GIVE TEST TO CHINESE ETHNIC MOSLEMAH 



UJIAN ALLAH KE SALAH SEORANG MUALAF MUSLIMAH ETNIS CINA - Ada seorang perempuan yang berasal dari etnis Cina dengan keluarga berada di suatu daerah. Dia dilahirkan di keluarga non-muslim yang memiliki kekayaan di atas rata-rata. Banyak teman-temannya bilang dia cantik dengan memiliki badan proposional dan wajah oriental. Sejak kecil, sudah hal biasa memiliki barang mahal dan dimanjakan. Suatu ketika dia mengalami dilema terhadap keyakinannya. Dia mulai tertarik dengan Islam. Dimulai dari rasa ketertarikan itu sebuah cerita menarik, mengharukan, dan mengagumkan mulai muncul. Tertarik dengan ceritanya? Silakan dibaca ceritanya di bawah ini.

Cerita 1

Kisah Cinta Mualaf Gadis Cantik Sebelum mulai, izinkan aku mohon maaf bila ada pihak tak berkenan terutama keluargaku. Untuk itu nama dan tempat disamarkan. Aku ucapkan terimakasih untuk Retno (samaran) mahasiswi Universitas T yang telah sudi menulis. Semoga menginspirasi pembaca atau menguatkan orang yang mengalami seperti aku. Allah limpahkan rahmat dan Hidayah-NYa pada kita, amiin!. Profile; Panggil aku Mawar usia 30-an lahir di kota P, pulau di seberang pulau Jawa sebagai bungsu dari 4 bersaudara. Kami keluarga Cina generasi ke-4 imigran ke Indonesia. Kakek buyut pendatang dari negeri jauh di utara pada awal abad 20. Menurut cerita, kakek buyut berjualan kebutuhan pokok gula, garam beras dll, keluar-masuk kampong dengan pikulan.

Bisnis keluarga berkembang pesat setelah pemerintah menggalakkan usaha yang dilakukan bangsa sendiri (pribumi). Saat itu ada istilah Ali-Baba. Ali panggilan pribumi dan Baba / pebisnis Cina. Pengusaha pribumi diberi kemudahan izin usaha bahkan izin impor, tapi umumnya kesulitan modal. Sementara banyak etnis Cina modalnya kuat membeli izin usaha dari pribumi, sehingga memudahkan bisnis expor-impor ke Singapura, Malaysia dan Hongkong yang dikuasai etnis kami. Bisnis keluarga makin besar, merambah semua bidang; pertambangan, emas, perkebunan dan lainnya. Kekayaan keluarga kami diatas rata-rata orang kaya Indonesia, above than ordinary rich. Harta keluarga amat melimpah hingga orangtua cemas seandainya kami sekeluarga (tiba-tiba) mati dan tidak ada yang mengurus harta kami. Untuk itu kami sekeluarga tidak pernah melakukan perjalanan pesawat bersama-sama. Bila liburan bersama, biasanya kami dibagi 2-3 flight. Papa-mama satu pesawat sisanya dibagi 2 flight. Sehingga bila terjadi musibah, ada anggota keluarga yang tetap melanjutkan bisnis. Aku bercerita tentang keluarga sebab sangat terkait dengan kisah selanjutnya. Papa lahir dan dibesarkan di kota P. Setelah lulus SMA studi bisnis di negeri H (Hongkong). Begitu kembali papa menjadi businessman handal, banyak relasinya di berbagai negara. Papa rendah-hati, pendiam, bicara terukur dan seperlunya serta jarang marah. Mama dari pulau lain yang menjadi karyawati perusahaan kakek sebelum bertemu papa. Mama orangnya keras, pintar, lincah, banyak pergaulan hingga kadang kami fikir, papa sepertinya takluk pada mama. Banyak kebijakan perusahaan berasal dari ide mama dan selalu sukses. Keduanya memang pasangan serasi dan saling mengisi. Mengenal Islam; Masa kecilku penuh kebahagiaan.

Dari SD hingga SMA aku sekolah swasta terkemuka, siswanya banyak anak bupati, gubernur atau pejabat. Aku pun berbaur tanpa memandang golongan, agama dan ras. Kadang aku diundang ke rumah mereka (anak bupati/gubernur) sehingga kenal dekat keluarganya dan kelak bermanfaat buat perusahaan kami. Di sekolahku ada pelajaran agama untuk setiap pemeluknya. Jika ada pelajaran agama tertentu, penganut agama lain diizinkan keluar, tetapi boleh juga tinggal. Misalnya ada pelajaran Islam, aku lebih suka tinggal di kelas mendengarkan apa yang diajarkan. Aku non-Muslim, setiap minggu ke tempat ibadah kami, tetapi aku lebih tertarik dengan Islam. Ada semacam panggilan dari hati paling dalam, Awalnya kupikir hanya perasaan ingin-tahu. Tapi setiap mendengar adzan, hati aku selalu bergetar. Rumah kami sangat besar. Sering aku sendirian, orangtua sibuk di Jakarta dan hanya beberapa hari di rumah dalam sebulan. Kakak-kakakku masih kuliah di LN, sehingga rumah dengan 6 kamar besar, hanya dihuni aku sendiri. Pembantu, sopir dan satpam tinggal di pavilion terpisah dengan rumah induk. Di kesunyian hati, aku merasa sejuk setiap mendengar ayat Quran yang kadang tidak sengaja aku dengarkan di TV. Aku makin tertarik dengan pelajaran Islam. Melihat ibu guru mengenakan kerudung dan wajah bersih bersinar membuat hati merasa sejuk. Dengan melihat wajah ibu guru saja, aku merasakan damai. Tanpa sadar akupun mencatat apa yang diajarkan, aku hapal ayat-ayat pendek. Semua terjadi begitu saja dan tak bisa dicegah.

Pernah ibu guru menghampiri aku yang secara refleks sedang mencatat pelajaran tentang HAJI di papan tulis. Beliau tahu aku non-muslim. Begitu mendekati tempat duduk aku. Jantung berdebar keras membayangkan diusir dari kelas. Ternyata hanya tersenyum ramah melihat catatanku. "Insya Allah kelak Mawar bersama ibu melaksanakan ibadah Haji ya…." Hubunganku dengan Ibu Aisyah (samaran) makin akrab, aku tidak sabar menanti hari pelajarannya. Hubungan itu bagai anak dan ibu. Meski aku juga tetap mengikuti pelajaran agamaku, tapi lebih banyak melamun bahkan tidak mencatat sama sekali. Sebagai gadis remaja tinggi 160 cm sedang mekar dan giat cari pacar. Banyak komentar teman; tubuhku indah, proporsional, wajah oriental dan akan banyak menarik perhatian laki. Tapi saat itu aku tak tertarik dengan pria seetnis. Sebaliknya setiap Jumat aku suka melihat siswa muslim ibadah shalat Jumat, hati langsung bergetar membayangkan andai salah satunya mau jadi pacarku. Dengan wajah bersih bersinar, basah tetesan air wudhu, melangkah ke masjid di seberang sekolah Ah...! Indahnya membayangkan wajah-wajah tersebut. Aku tahu diri, mana ada pribumi yang mau menjadi pacarku. Banyak yang masih membedakan ras. Pacaran dengan cina dianggap memalukan dan menjadi cemohan.

Aku pernah berpacaran dengan anak bupati. Dia memutuskan hubungan hanya karena ayahnya calon Gubernur yang tidak mau anggota keluarga bisa menghambat pencalonan, seperti anaknya berpacaran dengan cina. Alasannya sangat mengada- ada tapi aku sadar; orangtuanya tentu tidak rela anaknya berhubungan terlalu jauh denganku yang juga beda agama. Tapi hatiku sudah bulat kelak punya suami pribumi bahkan bersedia masuk Islam. Keputusan ini kelak membawa hidupku melewati perjalanan penuh ujian dan cobaan. Studi ke Australia dan Amerika Lulus SMA aku study ke Aussie (Australia) dan Amerika mengikuti 2 kakakku. Tak banyak yang perlu diceritakan. Hampir 5 tahun kemudian aku kembali dengan gelar Master dan mengabdi untuk bisnis keluarga. Dalam waktu singkat profit perusahaan meningkat pesat, terus membesar - merambah banyak sektor bisnis. Aku punya akses ke para elite daerah, karena semasa sekolah aku sudah mengenal keluarganya. Semua urusan perizinan aku selesaikan dengan mudah. Aku masih single di pertengahan usia 20-an. Banyak pria berusaha mendekatiku, dari pengusaha muda sukses hingga pemilik perusahaan besar. Namun hatiku tidak bergetar sama sekali. Mencari suami itu mudah tapi aku ingin mencari soulmate. Romantisme dalam Islam Suatu hari kantor mendapat staf baru dari kantor cabang di Jawa, 3 tahun lebih tua dariku, wajah bersih dan etnis Jawa. Tutur-kata lembut, sopan, tinggi proporsional dan ahhh...! Ini dia. Dia muslim taat. Wanita sekantor tidak habisnya membicarakan dan berlomba mendapatkan perhatiannya. Menurut laporan - dia amat rajin, jujur, berprestasi hingga dipromosikan ke posisi lebih tinggi dan satu divisi denganku. Awalnya aku jaga image sebagai anak Big Boss. Lama-lama hati enggak bisa bohong,..sedikit demi sedikit namun pasti...aku jatuh cinta. Suatu saat kami semobil dari kantor gubernur. Tiba-tiba dia meminta izin shalat Ashar di Masjid Raya. Dari dalam mobil, kucermati ia berwudhu, melangkah ke masjid, shalat...Ahhh!. Andai saja aku kelak bisa mengikuti di belakangnya.

Awalnya kami memanggil secara formal 'Pak' dan 'Ibu'. Tapi lama-lama secara tak sengaja aku memanggil "Mas" karena aku sering melihat orang Jawa memanggil yang lebih tua, suami atau kakak dengan sebutan "Mas". Dia rikuh, tetapi lama- kelamaan terbiasa. Tapi itu aku lakukan bila hanya berdua, tidak di kantor. Aku meminta dipanggil 'Dik' bukan 'Ibu Mawar.' Seperti pepatah Jawa, "Witing tresno jalaran kulino" terjemahan bebas "Cinta tumbuh karena terbiasa selalu bersama." Bayangkan bagaimana awal cinta kami!!! Kami duduk di belakang sopir mobilku. Awalnya membahas berkas kerja, kadang tidak sengaja tangan kami bersentuhan. Dia secara sopan segera menarik tangannya dan minta maaf. Ahh!...sebal rasanya. Padahal aku yang menginginkan. Tapi itu tidak berlangsung lama, Akhirnya dia takluk. Aku biarkan tangannya memegang berkas lalu aku pura-pura membahas sambil tanganku menyentuh jari dan tangannya. Aku tidak pandai pura-pura. Dengan berani kugenggam jemarinya, lama-lama dia (sebut saja Mas Fariz) merespon, menggenggam tanganku...ahh!...! Sering aku pura-pura minta supir kembali dari suatu tempat, seolah ada yang tertinggal ... padahal hanya ingin berlama-lama dengan dia. Suatu saat aku pura-pura ketinggalan sesuatu, meminta sopir ke rumah. Begitu memasuki rumah orangtuaku, wajah Mas Fariz pucat. Dia gugup karena khawatir papa (Big Boss) marah jika mengetahui pada jam kerja mampir ke rumahnya. Aku bilang tidak perlu takut, bukankah anak Big Boss yang membawanya. Setahun berlalu. Hubungan kami semakin erat tapi dia belum menyatakan cinta. Mungkin takut ditolak apalagi beda agama. Hingga suatu saat dia menelpon mengajak bertemu di restoran luar kota.

Dia meminta datang sendirian tanpa sopir. Di restoran itu dia menyatakan cinta...langsung saja kuterima. Kukatakan aku bersedia memeluk Islam dan sejak lama ingin masuk Islam, jadi mas Fariz semoga menjadi pembimbingku. Airmatanya meleleh. Seumur hidup baru kali ini seorang pria berlinangan airmata karena aku. Aku tidak kuasa menahan airmata dan yakin mendapatkan 'Soulmate.' Di kantor kami bekerja seperti biasa. Tapi di luar kantor kami sepasang kekasih. Dia mengajari shalat dan sedikit doa. Dia memang lelaki taat, menjaga kesopanan dan tidak pernah melewati batas. Sehingga kadang aku yang menggoda, namun dia selalu bilang, sabar!...tunggu waktunya. Seribu kali sayang, serapat apapun ditutupi, sedikit demi sedikit bocor juga rahasia kami hingga papa tahu ................

Tantangan Keluarga Suatu hari tiba-tiba papa datang ke ruangan aku, padahal amat sangat jarang terjadi, jika ada keperluan biasanya aku dipanggil. Mulanya papa tidak menanyakan hubungan aku dengan mas Fariz, tetapi sedikit demi sedikit topiknya mengarah kesana. Akhirnya papa menanyakan kebenaran hubungan itu. Aku tidak sanggup menjawab, wajah aku tertunduk. Papa menatap dan menunggu jawaban aku. Aku tidak sanggup berbohong atau menyangkal, sebaliknya jika bilang "iya" aku khawatirkan karir Mas Fariz. Aku hanya bisa menangis ...

Esoknya, Mas Fariz tidak hadir, dia dipindahkan ke Jawa. Akupun kehilangan kontak. Seminggu kemudian mas Fariz bercerita di telpon bahwa setelah papa menemuiku, dia langsung menemuinya. Esok paginya dia harus kembali ke kantor lama. Keadaan semakin parah, setiap karyawan di kantornya sudah tahu hubungan kami. Banyak tuduhan kalau mas Fariz mengincar harta dan kedudukan dengan memacariku. Berulangkali dia sebut nama Allah, bersumpah, cintanya kepadaku bukan karena itu. 2 minggu kemudian dia resign, tetapi kami masih berhubungan telpon. Dia mencari pekerjaan di perusahaan yang punya cabang di kota P agar bisa menemui aku. 3 bulan kemudian dia mendapatkannya dengan gaji jauh lebih kecil. Aku amat terharu, dia korbankan karirnya demi aku. Kami pun bebas berhubungan tidak peduli perkataan orang di kantor, tapi papa kembali mengetahui dan kali ini mama turun tangan. Mereka tidak bedakan ras dan tidak keberatan bergaul dengan siapapun, tapi tidak bisa diterima jika aku masuk Islam dan mereka sudah curiga.

Maka kujelaskan, aku sudah dewasa untuk mengambil keputusan hidup tanpa tergantung papa-mama - jawaban yang membuat mereka murka. Mereka berkata, banyak orang rela mati demi merasakan rumah mewah, sopir tersedia tiap saat, mobil mewah, uang melimpah dan dihormati. Mereka katakan, tanpa mereka aku tidak akan pernah bisa memperoleh kehidupan seperti ini. Aku hanya menangis. Tapi hatiku bertekad apapun yang terjadi aku tidak akan meninggalkan Mas Fariz. Aku giat mendalami Islam. Saat istirahat kantor, aku pergi ke tokobuku besar di Mal untuk membaca buku Islam. Pernah aku mengajak rekan kantor ke tokobuku. Aku langsung ke rak buku Islam, dia ingatkan kalau aku ada di bagian rak buku Islam. Aku bilang memang benar, aku mau membaca tentang Islam. Klimaks Kedua kakak laki-laki aku menikah dan menetap di Jakarta menjalankan bisnis kami dan papa-mama sekarang lebih banyak tinggal di kota kami bersama kakak perempuanku dan aku. Tapi hubungan aku dengan papa-mama semakin renggang, kakakku pun sudah terprovokasi dan menjauh. Aku dianggap bukan bagian keluarga dan tak diajak makan bersama di meja makan. Pembantu disuruh memanggilku untuk makan bila mereka selesai makan. Makanan yang ada adalah sisaan mereka dan pembantu tidak diperbolehkan menambah. Akhirnya aku makan makanan sisa. Jika mereka makan ayam, aku makan ceker dan kepala saja.

Bayangkan rasanya sakit hati. Aku bersabar dan mas Fariz selalu mengingatkan untuk berbakti pada orangtua. Bisa saja aku akan di restoran termahal di kota P. Kakak perempuanku sebenarnya kasihan padaku, sehingga kadang dia menyimpan sebagian makanan yang baru dimasak. Sehingga pada saat mama-papa selesai makan, diam-diam dihidangkan untuk aku. Secara tidak terduga, mereka kembali ke meja-makan dan memergoki. Langsung mama rebut piringnya dan melemparkan ke lantai. Sambil menyindir tidak perlu kasihan sebab aku sanggup hidup tanpa diberi makan mama-papa. Ohh..! Mereka rupanya sudah amat membenci. Hancur berkeping hati aku. Aku hanya menangis tetapi tidak menyesalI dan aku akan tetap bertahan. Mas Fariz menyarankan bicara baik-baik agar papa-mama luluh. Suatu malam ada kesempatan mendatangi mereka dan berbicara. Dengan tutur baik aku meminta maaf. Aku tumpahkan perasaan semuanya. Tapi justru itu membuat mereka bertambah murka. Mereka tuduh aku kena sihir dan menyarankan aku sadar. Ya Allah! Aku sehat, Insya Allah tidak ada satupun sihir. Semua keinginan murni dari panggilan jiwa yang tidak bisa aku cegah. Aku jelaskan lagi, bahwa aku sudah dewasa hingga apapun keputusan bisa kupertanggung-jawabkan. Aku bisa mandiri jika dikehendaki. Pendirian mereka pun tetap bahkan menantang, jika sanggup hidup mandiri, sekarang juga serahkan seluruh harta yang aku dapatkan selama hidup dengan mereka. Karena tekad bulat, malam itu seluruh kartu credit, ATM, buku bank aku serahkan. Uang yang aku punya hanya yang tinggal di dompet. Sepertinya tinggal menunggu waktu untuk meninggalkan rumah.

Esok paginya aku ada keperluan untuk membuka lemari besi tempat penyimpanan surat berharga keluarga. Berulangkali mencoba, aku tidak bisa membukanya. Ternyata nomor kombinasinya diubah. Padahal ada barang pribadi aku: Ijasah, perhiasan dan lain. Aku telpon papa tapi jawabannya sinis. Papa menyindir kalau sanggup hidup mandiri, mengapa mau membuka lemari besi keluarga, pasti ada barang yang mau dijual. Aku dikucilkan. Mereka menyiksa dengan caranya sehingga aku menyerah. Aku mengadu ke mas Fariz dan mengatakan akan minggat. Dia diam, lalu berpesan jangan sampai putus hubungan keluarga. Beberapa hari kemudian aku tinggalkan rumah dan kos di dekat kantor. Aku berpamitan baik-baik pada mama-papa. Tetapi mereka menoleh pun tidak. Aku masih ada cukup uang di dompet. Aku bersumpah tidak akan meminta uang mereka. Aku bertekad hidup mandiri. Selama bekerja di perusahaan papa, secara formal aku digaji sesuai dengan posisiku. Tapi disamping itu setiap bulan, aku mendapat uang- saku dari papa hampir 20x lipat gaji resmi. Sehingga penghasilan sebulan cukup untuk hidup mewah selama setahun. Seluruh simpanan bank, mencapai 10 digit. Mungkin cukup biaya seumur hidup. Sekarang aku tetap bekerja dengan harapan masih digaji. Tapi akhir bulan aku tidak mendapat sepeserpun. Saat kutanyakan ke pembayaran gaji, ada perintah menahan gajiku.

Ya Allah, mereka lakukan cara apapun agar menyerah. Saat itu juga kutinggalkan perusahaan papa selamanya. Start from Zero; Saat kuadukan ke mas Fariz dia teramat sedih dan meminta maaf, karena dia hidupku menderita. Dia rela andai aku tak kuat untuk mundur. Aku peluk dia dan kupastikan keputusanku tidak berubah. Akupun semakin ingin hidup bersamanya. Saat itu hanya dia sandaranku. Dengan berurai airmata, dia tanya lagi, apakah rela menjadi muslimah dan menjadi istrinya. Kuciumi tangannya kukatakan kukorbankan kehidupanku hanya untuk bisa hidup bersamanya dan tidak akan menyesali. Singkat cerita, dengan diantar mas Fariz aku mengucapkan kalimat syahadat di sebuah masjid disaksikan imam dan beberapa jemaah masjid. Dia mengajak segera menikah di kota kelahirannya. Kebetulan tugasnya dipindahkan ke pulau Jawa. Sebelum menikah kami datangi rumah papa-mama. Tapi satpam di pintu gerbang mengatakan kalau dia diperintahkan tidak boleh membuka pintu bila kami datang.

Sebenarnya ia mau membuka pintu. Tapi aku larang, khawatir mencelakai pekerjaan Biarlah aku saja yang menderita. Aku tinggalkan secarik surat yang isinya mohon doa restu bahwa aku akan menikah dengan Mas Fariz. Aku beritahukan ke pak satpam aku sudah muslimah. Matanya berkaca-kaca saat kukatakan aku mualaf. Keluarga mas Fariz menanyakan ketidakhadiran keluargaku di pernikahan kami. Tapi setelah mas Fariz bercerita, mereka memahami. Kami menikah secara sederhana. Keluarganya amat sangat menerimaku dengan hangat tanpa mempermasalahkan keturunan Cina. Ibu mertuaku amat sayang kepadaku.

Aku amat sangat bahagia menjadi istrinya. Aku hidup di rumah sederhana, kulalui dengan penuh kebahagiaan dan aku tidak mengeluh sedikitpun dengan yang mas Fariz berikan. Aku tidak lagi bekerja, karena aku ingin mengabdi pada suamiku. Disamping itu semua ijasah masih tersimpan di lemari besi, aku tidak bisa melamar pekerjaan. Aku pun ingin membuktikan bisa mandiri dengan suamiku. Mas Fariz amat sangat menyayangiku tiap pagi sebelum berangkat kantor dia memelukku. Tiap hari kubawakan 'lunch box' makan siang karena aku tidak mau dia makan makanan masakan orang lain. Aku sangat posesif, ingin memiliki dan melayani secara total. Tiap hari aku bangun sebelum dia bangun dan tidur setelah dia benar-benar tidur untuk memastikan dia sudah benar-benar tidak perlu aku layani lagi. Aku siapkan celana, baju, kaus kakinya tiap pagi sebelum berangkat kerja. Sehingga dia tidak perlu memikirkan pakaian apa yang harus dia pakai. Bahkan aku potong kukunya bila sudah panjang. Dia kujadikan pangeran bagi diriku. Tiap malam sebelum tidur, kami ngobrol dan saling mengajarkan bahasa. Dia mengajari bahasa jawa, sedangkan aku mengajari bahasa mandarin. Dia amat cepat belajar mandarin dalam waktu singkat dia menguasai kata-kata yang umum diucapkan, kadang mengajakku bicara mandarin di rumah.

Memang perusahaan tempatnya bekerja milik etnis Cina dan banyak berhubungan dengan keturunan Cina, sehingga bila berbahasa mandarin akan memberi keuntungan tambahan. Suatu saat dia pulang membawa motor, kantornya memberi pinjaman cicilan motor. Memang hanya motor, tapi aku bahagia sekali dengan yang dia dapatkan. Berulangkali dia minta-maaf tak bisa membeli mobil seperti yang pernah kumiliki. Aku katakan motor yang kita miliki jauh lebih mewah dari mobilku dulu. Karena motor ini bukan sekedar dibeli dengan uang, tapi juga dengan cinta. Kehidupan perkimpoian kami teramat indah, kalau di rumah nyaris kami tidak bisa berjauhan. Tiap hari bagi kami adalah bulan madu. Setahun kemudian lahir anak kami. Bayi itu sebut saja 'Faisal'. Mas Fariz yang membacakan Azan dan iqomat sesaat setelah lahir. Aku merasa lengkap kebahagiaanku. Setiap hari bertambah bahagia bisa merasakan 2 orang "Fariz" dalam rumahku. Saat mas Fariz ke kantor, aku di temani Fariz kecil. Aku mencintai 2 orang yang sama darah dagingnya. 3 tahun anak kami hadir. Mas Fariz bercita-cita mendatangi orangtuaku, oma- opanya Faisal. Dia ingin perkenalkan cucu mereka dan menyatukan aku dengan papa-mama. Dia berharap dengan kehadiran Faisal, akan meluluhkan hati orangtuaku. Tapi tiap menelpon, papa-mama bersikap seperti dulu. Bahkan waktu kukatakan bahwa mereka punya cucu dariku, mereka menjawab, kalau mereka tak merasa punya keturunan dariku…Ohh! malangnya anakku.


Cerita selanjutnya di lanjut ke sini.


Cerita 2



Aku teramat sedih, teganya papa-mama. Aku maklumi masih membenciku, tapi jangan pada anakku, cucu mereka. Tidak Putus Dirundung Malang Dia yakin papa-mama akan menerima kami. Sebelum harapan terpenuhi, musibah mulai datang ....
Suatu hari suamiku pulang lebih awal karena merasa nggak enak badan, seperti masuk angin. Aku menyuruhnya segera istirahat, tidur dan memberi obat penghilang sakit.
Malamnya tubuh panas menggigil. Keesokannya aku bawa ke dokter dan dikatakan hanya demam biasa sehingga hanya diberi obat penurun panas. Tapi malamnya tubuh tetap panas, menggigil dan mengigau. Dia menolak untuk dibawa ke RS bilangnya demam biasa. Hari ke-4 kondisinya parah dan pingsan, dari hidung keluar darah. Di RS Hasil periksa darah, trombosit tinggal 26.000 normalnya diatas 150.000. Suamiku kena demam berdarah, Dokter menyalahkan kenapa tak segera dibawa ke RS lebih awal, karena serangan terberatnya di hari 5. Kalau kondisi tidak kuat, amat berbahaya. Hari ke 5 makin parah, napasnya berat, trombositnya tidak naik. Malam itu setengah mengigau, dia memanggilku, aku genggam tangannya, aku dekati telingaku ke mulutnya, aku dengar dia coba ucapkan sesuatu. Air matanya meleleh.

Dia ucapkan "Maafkan aku" Aku tenangkan dia, kalau tidak ada yang perlu dimaafkan. Aku ikhlas mendampinginya. Setelah mendengar kata_kataku dia tenang, dengan 1 tarikan napas dia ucapkan "La ilaaha illa llaah" lalu meninggal dalam pelukanku. Aku ingat ucapannya, jika Allah izinkan, dia ingin meninggal di pelukanku. Aku memarahi dia, jangan bilang seperti itu. Tapi dia serius, kalau dia tak sanggup kalau aku meninggalkannya.
Ternyata Allah kabulkan. Orang yang aku jadikan sandaran hidup telah pergi. Tidak terkira sedih hatiku. Andai tidak ingat anakku, aku ingin menyusul Mas Fariz. Mas Fariz jujur dan baik, seluruh rekan kerjanya dan big boss hadir melayat. Kantor memberi santunan 4x gaji, ditambah uang duka. Aku ditawari kerja di perusahaan tersebut. Tapi aku rasa setengah nyawaku hilang. Selama 3 bulan berduka, aku tidak sanggup melakukan apapun. Sementara aku di rumah mertua agar Faisal ada yang mengasuh. Rumah dan motor dijual, karena tidak sanggup kubayangkan kenangan Mas Fariz. Hampir setengah tahun di rumah mertua, aku putuskan kembali ke kota asalku. Sebenarnya ibu mertua amat baik dan penyayang. Tapi aku tahu diri tidak mungkin bergantung ke siapapun. Aku harus mandiri demi anakku satu-satunya. Di kota asalku aku mengontrak rumah dan membuka toko kecil. Mungkin karena masih berduka dan terbayang suami hingga kurang mikirkan usahaakhirnya bangkrut. Uang habis untuk membayar tagihan suplier. Aku sebenarnya tidak pernah putus asa apapun aku jalani asal halal. Pernah jadi pelayan restoran beberapa bulan dan berhenti karena anakku tak ada yang menjaga. Akhirnya aku kehabisan uang tak sanggup bayar kontrakan.

Dengan koper isi pakaian dan menggendong anakku berjalan tanpa tujuan. Aku bingung akan kemana. Pernah terlintas di benakku untuk kembali ke keluargaku. Tapi dengan kondisi ini mereka pasti merasa menang, tertawa terbahak dan mengejekku seumur hidupku bahwa aku gagal memilih jalan hidup. Dibawah Naungan Islam; Ditengah perasaan putus asa, kuteringat masjid tempat aku pertama kali mengucapkan kalimat syahadat. Masjid itu bukan Masjid Raya di kota kami, tapi masjid tua bersejarah, maka banyak jemaah berziarah.

Aku berpikir, dulu aku memulainya dari masjid itu, sehingga kalaupun jalan hidupku berakhir aku ingin di masjid itu pula. Aku datangi masjid tersebut Dan aku shalat mohon petunjuk. Anakku kelelahan tertidur di sampingku. Aku tidak punya uang untuk membeli makanan dan hanya bisa menangis. Rupanya tangisku didengar seorang bapak dan beliaulah imam masjid tersebut dan dia pula yang dulu membimbing aku membaca syahadat. Aku tidak lupa dengan wajahnya tetapi dia pasti tidak ingat, karena wajahku tidak sesegar dulu lagi. Sewaktu aku perkenalkan diriku dan aku katakan bahwa aku dulu mualaf yang beliau bimbing, dia langsung ingat tapi juga kaget dengan kondisiku seperti ini. Akhirnya aku ceritakan semuanya pada beliau, sebab aku merasa tidak ada lagi orang di dunia ini yang aku jadikan sandaran hidupku. Setelah mendengar kisahku dia menyuruhku jangan pergi - tetap tinggal di masjid. Beliau menyuruh seorang jemaah membelikan makanan untuk aku dan anakku. Sebentar kemudian dia meninggalkan aku sambil berpesan akan segera kembali (rupanya dia mencari tempat untuk aku tinggali).

Tidak lama beliau kembali. Sambil tersenyum dia katakan, mulai malam ini aku memperoleh tempat tinggal. Aku diajak ke belakang masjid disitu ada bangunan tambahan terdiri beberapa ruangan. Biasa dipakai untuk gudang peralatan masjid, seperti tikar, kursi dan lainnya. Salah satu ruang tampak sudah kosong. Dia menunjuk bahwa itulah rumahku. Aku boleh menempati selama mungkin aku mau. Ruang sebelahnya ditempati Pak Tua penjaga masjid, sehingga aku ada yang menemani. Ruangan itu berukuran kurang lebih 2x2m. Pak Imam masjid menambahkan, aku diberi honor sekedarnya jika mau membantu membersihkan masjid, sehingga cukup untuk makan. Beliau tambahkan kalau aku bisa datang ke rumahnya sekedar membantu istrinya memasak. Rumah beliau hanya beberapa ratus meter dari masjid. Alhamdulillah, aku amat bersyukur ternyata Allah mendengar doaku. Aku ingat, bahwa Allah tidak akan menguji hambanya melebihi beban yang sanggup dia pikul. Aku bersyukur memperoleh tempat berteduh, walau hanya kamar kecil (jauh lebih kecil dibanding kamar mandi saat di rumah orangtuaku). Ada lagi yang membuatku tenang yaitu aku tinggal dekat rumah Allah, setiap merasa sedih, aku tinggal masuk masjid mengadukan langsung pada Allah. Karena tinggal dekat masjid otomatis shalatku tidak pernah terlewatkan sekalipun. Alhamdulillah, hidupku sedikit demi sedikit mulai tenang. Aku sering membantu istri Pak Imam memasak di rumahnya. Imbalannya beliau selalu membekali makanan untuk aku bawa pulang. Sehingga aku tidak perlu risau memikirkan makanan harian.

Kalau Pak Imam sekeluarga ada keperluan keluar kota, akulah yang dititipi menjaga rumahnya dan bisa tinggal di rumahnya. Sebenarnya mereka menawarkanku tinggal bersama mereka. Tapi aku tahu diri tidak mau terus menerus merepotkan orang lain. Pekerjaanku setiap hari membersihkan halaman masjid, membersihkan kaca jendela, Sedangkan Pak Tua mengepel lantai masjid. Tiap minggu aku mendapatkan honor sekedarnya dari hasil kotak amal, tapi kadang aku tidak mendapatkan sepeserpun, karena kadang sudah habis untuk keperluan masjid, tapi aku lakukan itu dengan senang hati dan ikhlas. Sementara ini aku benar-benar ingin mengabdi pada Masjid ini - sebagai tanda terimakasih. Aku tidak mau bersusah-payah mencari pekerjaan. Aku percaya kelak masjid ini akan memberi jalan memperoleh pekerjaan. Kadang pada malam hari aku duduk di teras masjid, mengobrol dengan Pak Tua. Dia bercerita, anak-anaknya ada di kampong, tapi dia tak mau merepotkannya. Selama masih kuat, dia tak mau merepotkan orang lain. Lalu saat giliran aku bercerita, kadang aku bingung harus cerita apa...??? Apa aku ceritakan kalau dulu aku pernah naik kapal pesiar keliling EROPA, tidur di hotel mewah di LAS VEGAS atau saat kuliah punya apartment mewah di Australia … Ahh! Pasti dia tertawa menganggap aku berkhayal. Jangankan tidur di hotel, uang yang aku punya tidak lebih dari Rp 20.000,-

Dulu tiap minggu aku bisa beli peralatan makeup, eye-shadow, lipstick jutaan rupiah. Kini makeup aku air wudhu sebelum shalat. Tapi justru banyak yang mengatakan wajahku tetap bersih, cantik alami. Kadang orang berpikir aku masih memakai makeup. Yah…! mungkin Allah yang memakaikannya. Kecantikan dari dalam “Inner Beauty” Banyak yang bilang dengan mata sipit dibalik kerudung, aku terlihat cantik. Tanpa terasa hampir 2 tahun aku menetap disini, anakku sudah sekolah SD dekat masjid milik yayasan dan tanpa membayar sepeserpun. Aku hanya membeli seragam dan alat sekolah. Bahagianya hati melihat anak aku masuk sekolah…ohh! seandainya mas Fariz masih ada dan melihat anak kita di hari pertama sekolah.

Anakku rupanya tumbuh besar dalam keprihatinan sehingga sangat tahu diri. Tak pernah sekalipun merengek minta dibelikan ini itu seperti layaknya anak lain. Pernah hatiku amat pilu. Ketika dia pulang sekolah dengan kaki telanjang sambil menenteng sepatunya. Sambil tertawa, tanpa mengeluh, dia justru menunjukkan sepatunya. "Ma, sepatu Faisal sudah minta makan" Sepatunya robek depannya, seperti mulut minta makan. Melihat dia tertawa, aku ikutan tertawa, walau hati ingin menangis. Andai dia tahu dulu mama selalu memakai sepatu harga jutaan. kini, membelikan sepatu anakku yang murah aku belum sanggup. Alhasil selama 2 hari anakku ke sekolah memakai sepatu robek, hingga aku belikan sepatu bekas layak pakai. Aku bersyukur punya anak amat tahu diri. Tidak mau membebani ibunya. Anak saleh akan menjadi bekal amat bernilai buat orangtua. Pak Imam masjid kadang menengok dan menanyakan keadaan kami. Dia sering cerita, bagaimana istri Muhammad SAW hidup jauh lebih menderita, tapi tetap tabah. Beliau bilang, aku pasti akan menjadi ahli surga. Berulangkali dia katakan, orang lain tidak akan sanggup menghadapi cobaan ini, tapi aku tetap bertahan memegang keyakinan, meninggalkan kenikmatan dunia yang justru pernah kuperoleh. Suatu siang, aku melihat mobil datang ke halaman masjid. Dari dalam mobil keluar 2 orang yang aku kenal. Yang satu Tante Grace, satunya Oom Albert. Mereka lawyer perusahaan dan keluarga kami. Entah bagaimana mereka bisa mengetahui aku ada disini. Mereka membawa sebundel amplop, mengajak aku berbicara. Aku lihat mata Tante Grace memerah menahan airmata saat melihat tempat aku tinggal. Bahkan Oom Albert suara bergetar, lehernya tersekat menahan sedih. Mereka diutus orangtua aku. Karena orangtuaku sudah tahu bagaimana keadaan aku sekarang. Mereka katakan dalam amplop isinya surat bank, ATM, Ijasahku yang bisa aku miliki lagi. Bahkan aku dijemput pulang ke rumah mama-papaku. Sejenak aku bahagia, kupikir orangtuaku terbuka hatinya, aku bisa pakai uang yang banyak untuk hidup lebih baik. Tapi dengan terpatah-patah Oom Albert melanjutkan, mama-papa memberi syarat. Saat kutanyakan syaratnya. Keduanya nyaris tidak sanggup melanjutkan. Tante Grace makin menunduk menahan tangis. Akhirnya oom Albert mengatakan syaratnya aku dan anakku harus kembali ke keyakinan lama.


Saat itu juga aku langsung menjawab, kalau aku tidak mau menerima amplop itu dan aku katakan agar dikembalikan ke papa. Keduanya amat sangat minta maaf padaku, karena mereka tahu aku tersinggung. Tapi aku juga sadar keduanya hanya menjalankan tugas. Bahkan Tante Grace katakan, andai mengikuti nurani pasti mereka serahkan itu amplop padaku tanpa syarat apapun, tapi mereka terikat profesi. Keduanya pamit. Tapi tidak lama kemudian kembali lagi, aku pikir ingin membujuk. Rupanya mereka berinisiatif fotocopi ijasah dan menyerahkan copy-nya padaku. Mereka inisiatif sendiri resikonya kehilangan pekerjaan. Mereka bilang hanya itu yang bisa mereka lakukan untukku. Alhamdulillah. Sedikit demi sedikit Allah memberi jalan untukku. Akhirnya aku punya bukti kalau aku pernah sekolah tinggi meraih Master bidang keuangan (finance) di luar negeri. True Happiness; Rupanya Allah cukup menguji dan memberi rewards atas ketabahanku. Suatu pagi 2 orang mengamati bangunan masjid, wanita kulit putih dan lokal. Pak Tua ada di halaman Masjid, maka mereka menghampiri. Masjid kami memang unik, bangunan tua dengan arsitektur Melayu Kuno dan sering dikunjungi. Biasanya Pak Tua menjadi juru-bicara karena dia paling tahu sejarah masjid. Aku banyak mendapat cerita dari Pak Tua sehingga aku tahu sejarah masjid kami. Dari jauh tampak keduanya mengobrol dengan Pak tua, sampai akhirnya kulihat si Kulit Putih kebingungan.

Akupun menghampiri dan dengan sopan memperkenalkan diri serta menawarkan bantuan. Ternyata dia mahasiswi Arsitektur dari Australia dan ditemani mahasiswi Arsitektur universitas T di kotaku sebagai penterjemah (panggil saja Retno). Rupanya bahasa Inggris Retno kurang lancar hingga si Bule kebingungan mendengar terjemahan cerita Pak Tua. Dengan sopan aku mengajukan diri membantu si Bule. Dengan bahasa inggris sangat lancar, aku ceritakan semua hal tentang masjid. Aku ajak berkeliling ke tiap sudutnya. Si Bule bertambah takjub saat kukatakan pernah study di negerinya. Retno terus memandangiku setengah tak percaya. Setelah puas mendapat informasi, sebelum pulang Retno berjanji menemuiku segera, ingin menanyakan banyak hal tentang diriku. Dengan senang-hati akan kuterima kedatangannya kapan saja. Beberapa hari kemudian Retno menemuiku. Dia amat ingin tahu siapa diriku. Aku ceritakan semua perjalanan hidupku sampai saat ini. Dia amat bersimpati dan ingin menolong. Walau tak mengharap pertolongan orang lain, tapi kuhargai niatnya. Dia bilang dengan pendidikan dan kemahiran bahasa asing akan mudah mendapat pekerjaan, apalagi ada copy ijasah. Seminggu kemudian dia datang membawa kertas dan amplop, menyuruh membuat surat lamaran. Informasinya Rektorat memerlukan tenaga honorer. Aku terharu ada orang peduli mau membantu tanpa pamrih, aku ucapkan banyak terimakasih padanya. Bagiku dia seperti diutus Allah untuk menolongku. Tidak lama kemudian aku mendapat kabar gembira, aku dipanggil ke Rektorat untuk test dan wawancara. Sebelum berangkat aku shalat memohon kepada Allah agar diberi kelancaran. Anakku aku titipkan pada Pak Tua yang kuanggap sebagai orangtua sendiri. Alhamdulillah, test berjalan lancar. Saat wawancara justru Bahasa Inggris lebih aku kuasai dibanding pewawancara. Dia bilang English-ku perfect. Beberapa hari kemudian dia datang dan tampak gembira sekali, katanya dalam beberapa hari aku akan mendapat surat dari Rektorat yang isinya diterimanya aku sebagai honorer. Dia tahu informasi karena temannya bekerja disana. Aku segera menuju masjid dan bersujud syukur lama sekali. Kurasa aku lulus semua test yang diujikan Allah. Sering aku bertanya pada Allah, apakah karena aku mualaf sehingga Allah kurang percaya pada keimananku hingga perlu diuji dengan ujian amat berat. Walau hanya honorer aku sangat bersyukur, yang penting aku memperoleh penghasilan layak. Pekerjaan membantu Bagian Keuangan di Rektorat, memang sesuai dengan ilmuku. Mulai banyak yang tahu kalau aku lulusan luar negeri. Setiap seminar yang memerlukan makalah bahasa Inggris pasti aku yang diberi tugas penyusun makalah. Aku banyak membantu penterjemahan litelatur asing untuk mahasiswa. Nyaris 3 tahun terakhir, aku tidak pernah membeli baju baru. Dengan gaji sekarang aku bisa membelinya. Aku amat sangat senang bukan main, bisa membelikan pakaian anak. Bahagia melihat anak berpakaian layak. Pakaian sekolahnya sudah menguning, kini aku beli yang baru, putih bersih dan sepatu baru. Sepatu lamanya robek dan kusimpan sebagai kenangan. Tak lama kemudian aku mengontrak rumah. Sebelum aku meninggalkan Masjid tak lupa pamitan ke rumah Pak Imam mengucapkan terimakasih atas pertolongannya, beliau katakan yang menolong bukan dia tapi Allah yang menolongku. Aku memeluk dia lama sekali. Aku katakan dahulu aku ucapkan syahadat di depannya dan aku tak akan pernah mengingkarinya seumur hidupku, apapun yang terjadi. Sebelum pergi kupandangi kamarku untuk terakhir kali, sempat beberapa menit tertegun, membayangkan, mungkin kelak ruangan ini dipakai oleh orang yang senasib seperti aku..... Aku harap Semoga Allah memberinya kekuatan.... Setelah melewati segala cobaan, Allah terus-menerus memberi semacam rewards, belum setahun bekerja, Rektorat memberi kabar statusku menjadi karyawan tetap. Beberapa dosen senior menawari posisi asisten dosen. Rekan kerja mengatakan karirku amat bagus.

Orang berkualifikasi sepertiku amat dibutuhkan. Mereka bilang kesuksesan hanya menunggu waktu. Aku hanya mengucap Alhamdulillah. Dahulu aku sering berdoa dengan linangan airmata kesedihan, sekarang sering menangis saat berdoa, tapi kali ini aku menangis bahagia. Sampai saat ini aku sendirian, aku bertekad membesarkan anak sebaik-baiknya. Aku masih merasa istrinya mas Fariz. Seperti yang aku pernah katakan, dia bukan hanya suami, tapi soulmate dan tidak tergantikan. Tetapi entah kalau Allah mempunyai rencana lain. Tiap memandang anakku, aku seperti melihat mas Fariz. Seolah dia masih mendampingiku. Alhamdulillah! kini aku mampu membeli motor. Di akhir pekan aku sering berboncengan dengan anakku jalan-jalan atau sengaja lewat di depan rumah orangtuaku, sambil aku katakan bahwa itu rumah opa-oma. Sering anakku bertanya, "Ma kapan kita pergi ke rumah oma-opa? " Aku tersekat tak bisa menjawab sebab menahan airmata. Aku terus berdoa, semoga suatu saat kelak orangtuaku dibukakan hatinya, jika tak mau menerimaku lagi, mohon diterima anakku – cucu mereka.


Sumber: Sobat Kaskus
Read More …
Categories: ,