Analisis Kelembagaan dan Proses Pelembagaan Sosial
Bahan Bacaan Modul Praktikum Sosiologi Umum Bab 4

MODEL KELEMBAGAAN MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN HUTAN ALAM PRODUKSI
(oleh Djuhendi Tadjudin)

SISTEM BAGI HASIL DI JAWA TENGAH
PENELITIAN HUKUM PEMILIKAN TANAH DI SEBUAH DAERAH PERTANIAN YANG PENDUDUKNYA SANGAT PADAT
(oleh Warner Roell)


Bacaan 1
Dalam era globalisasi ini, pola pengelolaan pada masing-masing sektor kian mengglobal, sebaliknya pengelolaan sumberdaya hutan kian melokal. Saat ini kebijakan pengelolaan sumberdaya hutan bersifat paradoksal artinya kebijakan yang hanya membela pencapaian target keuntungan produksi namun pencapaian untuk memelihara kelestarian lingkungan tidak efektif, sehingga yang terjadi kerusakan hutan yang mengkhawatirkan.

Oleh karena itu, dalam praktek pengelolaan hutan saat ini tidak mengherankan banyak terjadinya persengketaan yang terkait dalam masalah hutan alam produksi. Dilihat dari tata nilai yang diterjemahkan sebagai pemaknaan, maka hutan memiliki nilai yang berbeda, bagi masyarakat, hutan merupakan tempat menggantungkan kehidupan perekonomian, budaya dan spiritualnya. Bagi swasta hutan hanya sebagai komoditas untuk memperoleh keuntungan bagi pemerintah dalam peraturan perundangan kerap digambarkan secara religius sebagai rahmat Tuhan. Ada perbedaan makna mengenai masyarakat sendiri, dunia Internasional percaya bahwa masyarakat mampu mengelola sumberdaya hutan walau tidak bisa dipungkiri ada sebagian masyarakat yang tidak arif dalam mengelolanya. Ketidak-arifn tersebut menghasilkan suatu “tragedy of the common” , suatu bentuk sumberdaya akibat pendayagunaan yang berlebihan.





Sementara itu, pihak swasta dan terkadang pemerintah memandang masyarakat sebagai ancaman terhadap keamanan usahanya. Padahal belum tentu seperti itu, jika kita melihat sejarah pada masa Orde Baru sebagian pengelolaan sumberdaya hutan diserahkan kepada swasta yang bertujuan untuk meningkatkan produksi hutan. Namun pada faktanya dalam kegiatan penguasaan hutan, swasta tidak memperhatikan azas pelestarian lingkungan dan tidak adaptif terhadap kehidupan budaya, kebiasaan, dan tata nilai masyarakat karena memang swasta mengartikan hutan sebagai produk komoditas yang menguntungkan.

Untuk mengatasi kejanggalan ini pemerintah Indonesia khususnya, mencoba untuk mengembangkan model pengelolaan hutan yang melibatkan masyarakat luas agar pandangan diatas dapat terbantahkan. Model ini dikenal dengan konsep Hutan Kemasyarakatan (HKM) yaitu konsep untuk mengakomodasikan:

1).   Partisipasi masyarakat lokal seluas-luasnya.
2). Kunggulan pengetahuan dan kearifan masyarakat lokal karena dalam prakteknya membutuhkan kelembagaan pemerintah (birokrasi) berupa desentralisasi dan devolus.
3).   Perubahan paradigma pemerintah dari status custodian menjadi fasilitator.

Dalam praktek pengelolaan sumberdaya hutan konsep ini menghasilkan manajemen yang unik dan bersifat kolaboratif. Konsep ini merupakan sebuah keharusan karena akan menciptakan keseimbangan kontrol masyarakat dan pemerintah terhadap sumberdaya hutan alam produksi. Dalam hal ini masyarakat sebagai pelaku yang mendayagunakan dan memelihara sumberdaya, sedangkan pemerintah memfasilitasi. Dan ternyata konsep ini efektif untuk dilaksanakan karena tidak mengabaikan tujuan-tujuan pelestarian hutan.

Bacaan 2
Artikel ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan tahun 1969 di daerah Klaten, Jawa Tengah. Di Jawa sistem bagi hasil merupakan elemen penting dalam kehidupan pertanian meskipun dalam Undang-Undang Agraria tahun 1960 mengharuskan petani untuk mengolah sendiri tanah pertanian tanpa membagi hasil panen dengan yang lain.

Menurut data statistik di daerah penelitian ini termasuk daerah yang padat penduduknya akibatnya cadangan tanah pertanian semakin tidak ada, maka lapisan penduduk pertanian yang tidak memiliki tanah terus meningkat. Dari sinilah sistem bagi hasil di daerah Klaten semakin menyebar. Faktor lain seperti teknik produksi yang sedehana, tidak ada mekanisasi, kurangnya modal penduduk, dan terutama kurangnya kesempatan dalam bidang non pertanian (industri). Walaupun di Klaten ada beberapa pabrik industri namun ini tidak cukup memberikan peluang kesempatan kerja. Faktor-faktor tersebut semakin menyebar luaskan sistem bagi hasil yang masih dipakai di daerah Jawa. Adapun bentuk-bentuk dasar sistem bagi hasil yang dipergunakan di daerah penelitian diantaranya:

1). Sistem Maro (garap separuh atau bagi separuh)
2). Sistem Mertelu (bagi tiga garapan, bagi tiga hasil)
3). Sistem Mrapat (bagi empat garapan, bagi empat hasil)

Bentuk sistem diatas biasa digunakan dalam bersawah dan sistem yang paling umum dipakai di daerah yang diteliti adalah sistem maro.

Sebenarnya sistem bagi hasil ini berasal dari hukum pemilikan tanah feodal kerajaan di Surakarta dan Yogyakarta. Sistem ini mensyahkan hak pemilikan kaum tanah dan lahan bagi kaum bangsawan sedangkan penduduk tidak memiliki hak. Penduduk hanya mengolah tanah dan lahan itu yang kemudian separuh dari hasil panen harus diserahkan pada istana berupa upeti hasil panen tersebut. Sistem ini kemudian berubah dengan masuknya sistem perkebunan Eropa sejak akhir abad ke 18, kewajiban penduduk untuk menyerahkan upeti diganti dengan wajib kerja yang tidak dibayar. Kondisi ini menjadikan penduduk Jawa yang miskin menjadi semakin miskin.

Oleh karena itu, demi perbaikan kepentingan sosial penduduk harus dilakukan penghapusan situasi buruk sistem bagi hasil di Jawa. Karena tidak saja merupakan dampak landasan eksistensi penduduk yang tidak mencukupi, melainkan sistem ini ikut mempertahankan kemiskinan. Selain itu, usaha-usaha yang dapat meningkatkan dalam bidang pertanian, bidang politik kependudukan, usaha industrial dan infrastruktur harus terus diupayakan.

Analisis Kelembagaan dan Proses Pelembagaan Sosial

Bacaan 1
1) Menurut Uphof (1992) penggolongan kelembagaan dalam sektor sosial di tingkat lokal dalam bacaan 1 adalah masuk dalam sektor publik karena mencakup administrasi dan pemerintahan lokal dengan birokrasi dan organisasi politik sebagai organisasi mutakhir.

Perbedaanya dengan sektor partisipatori yakni tumbuh dan dibangkitkan oleh masyarakat secara sukarela, misalnya organisasi nonpemerintah (Ornop, NGO, LSM) dan lembaga ini aktif berdasarkan tujuan sesuai dengan minat para pendukunya, misalnya dalam bidang kesehatan dsb. Sedangkan sektor swasta adalah yang berorientasi pada upaya mencari keuntungan dalam bidang jasa, perdagangan dsb.

Persamaanya dengan sektor publik dan sektor swasta yakni himpunan norma segala tingkatan yang berkisar pada suatu kebutuhan pokok di dala kehidupan masyarakat.

Sisi Kelembagaan : HKM
Fungsi Kelembagaan : Keputusan Menhut Adat Badui
Ciri Kelembagaan : HPHKM
Penggolongan Kelembagaan : Politik Ekonomi (Koentjaraningrat)

2) Fungsi Kontrol Sosial
Sifat : Represif
Proses : Coersive
Kesimpulan : Deviasi

Bacaan 2
1) Menurut Uphof (1992) penggolongan kelembagaan dalam sektor sosial di tingkat lokal dalam bacaan 1 adalah masuk dalam sektor partisipatori karena tumbuh dan dibangkitkan oleh masyarakat secara sukarela, misalnya organisasi nonpemerintah (Ornop, NGO, LSM) dan lembaga ini aktif berdasarkan tujuan sesuai dengan minat para pendukunya, isalnya dalam bidang kesehatan dsb

Sedangkan sektor publik adalah mencakup administrasi dan pemerintahan lokal dengan birokrasi dan organisasi politik sebagai organisasi mutakhir.

Perbedaanya dengan sektor. Sedangkan sektor swasta adalah yang berorientasi pada upaya mencari keuntungan dalam bidang jasa, perdagangan dsb.

Persamaanya dengan sektor publik dan sektor swasta yakni himpunan norma segala tingkatan yang berkisar pada suatu kebutuhan pokok di dala kehidupan masyarakat.

Sisi Kelembagaan : Bagi Hasil
Fungsi Kelembagaan : Patron Clien
Ciri Kelembagaan : Maro, Mertelu, Mrapat
Penggolongan Kelembagaan : Ekonomi (Koentjaraningrat)

2) Kontrol Sosial
Sifat : Prefentif
Proses : Persuasif
Kesimpulan : Konformitas
Read More …
Categories: ,
Bahan Bacaan Modul Praktikum Sosiologi Plus

Keadilan Ekologis
Oleh : Arif Satria
Pendidikan Alternatif dan Perubahan Sosial
Oleh : Anita Lie


BACAAN 1
Ada dua momentum pada 22 April: Hari Bumi dan Hari Terumbu Karang. Perserikatan Bangsa-Bangsa juga menetapkan tahun 2010 sebagai Tahun Keragaman Hayati dengan tema ”Biodiversity is Life, Biodiversity is our Life”. Ketiga momentum itu sangat penting untuk menanggulangi krisis ekologis yang terjadi.

Di Indonesia, terumbu karang yang sangat baik tinggal 6 persen. Padahal, terumbu karang memberi keuntungan ekonomi 1,6 miliar dollar AS per tahun (Tun et al, 2004). Hutan mangrove juga rusak. Stok ikan menipis. Bahkan, di dunia, 77 persen dari 441 spesies ikan sudah dalam lampu kuning. Belum lagi masalah pencemaran dan kerusakan ekologis akibat pertambangan dan aktivitas ekonomi lainnya. Bisakah konsep pembangunan berkelanjutan mengatasinya?

Pembangunan berkelanjutan ditafsirkan sebagai pembangunan yang bisa dinikmati generasi sekarang dan mendatang. Ini merupakan respons terhadap pembangunan gaya kapitalisme yang tidak ramah lingkungan. Suatu konsep yang mencerminkan paradigma modernisasi ekologi.

Tiga strategi
Asumsi utama modernisasi ekologi adalah bahwa pertumbuhan ekonomi dapat direkonsiliasikan dengan kelestarian ekologis, yang selanjutnya bertumpu pada tiga strategi (Low dan Gleeson, 1998). Pertama, ekologisasi produksi, yang berarti pengurangan limbah dan pencemaran melalui perbaikan teknologi ramah lingkungan. Kedua, perbaikan kerangka regulasi dan pasar untuk proekologis. Ketiga, menghijaukan nilai sosial dan korporat beserta praktiknya.

Tentu pemikiran modernisasi ekologi semakin populer. Kini semakin banyak perusahaan yang berusaha menggunakan teknologi ramah lingkungan. Teknologi asap cair menjadi salah satu solusi minimisasi limbah. Instrumen amdal jadi pengendali dampak lingkungan. Kampanye earth hour, jalur bebas mobil pada hari-hari tertentu, serta mengatur suhu sedang untuk pendingin ruangan adalah upaya kultural dari modernisasi ekologi.

Begitu pula solusi perdagangan karbon untuk mengatasi perubahan iklim. Intinya solusi krisis ekologis adalah manajemen lingkungan melalui teknologi, pasar, dan intervensi negara. Selain manajemen lingkungan, modernisasi ekologi juga tecermin dalam pengelolaan sumber daya. Cirinya adalah pendekatan teknokratik yang berbasis sains dan pasar untuk mengatasi krisis ekologis. Contohnya, ekolabeling untuk produk hutan, ikan, serta pertanian. Juga berbagai kawasan konservasi yang dikembangkan untuk kelestarian sumber daya.

Meski demikian, pendekatan modernisasi ekologi sering dipertanyakan karena melupakan konflik kepentingan antaraktor, yakni antara industri yang satu dan industri lain, industri dengan masyarakat, negara dengan masyarakat, serta antara negara maju dan berkembang. Relasi kekuasaan yang tidak seimbang antara keduanya akan menimbulkan dominasi satu atas lainnya dan berujung pada marginalisasi pihak yang lemah.

Modernisasi ekologi jarang memerhatikan pertanyaan siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan. Jarang dipikirkan bagaimana dampak ekolabeling terhadap perikanan rakyat. Jarang dipikirkan pula dampak kawasan konservasi hutan dan laut terhadap masyarakat sekitarnya. Begitu pula pada level global, dampak perdagangan karbon terhadap dunia ketiga dan lingkungan global. Konflik-konflik kepentingan itu membutuhkan solusi yang adil.

Keadilan ekologis
Oleh karena itu, konsep keadilan ekologis perlu segera dikembangkan. Menurut Flitner (2009), ada dua macam keadilan ekologis. Pertama, keadilan distributif yang menekankan pentingnya akses masyarakat pada benefit atas pemanfaatan sumber daya. Banyaknya konflik nelayan dengan pengelola kawasan konservasi merupakan akibat dari terusiknya keadilan distributif ini.

Kedua, keadilan pengakuan yang menekankan pada pentingnya pengakuan terhadap eksistensi keragaman cara masyarakat mengelola alam. Tipe keadilan ini diturunkan dari asumsi bahwa alam adalah hasil konstruksi sosial. Sejarah, pengalaman, dan budaya akan membentuk cara pandang masyarakat terhadap alam, yang mungkin berbeda dengan pandangan para ahli.

Masyarakat memiliki cara sendiri bagaimana beradaptasi dan mengelola sumber daya alam yang bisa jadi lebih efektif. Namun, sering kali mereka diabaikan sehingga menjadi tamu di wilayahnya sendiri. Ketidakadilan ekologis terjadi karena ada monopoli cara pandang terhadap alam, yaitu cara pandang positivistik berbasis sains dianggap paling obyektif, benar dan universal, meski kadang kurang efektif. Ini berimplikasi pada menguatnya pendekatan teknokratik dalam mengelola alam. Padahal, di luar sains, ada sistem pengetahuan lain di masyarakat yang juga akurat melihat fenomena alam. Kontradiksi ini bisa diakhiri dengan mendorong kolaborasi sains dan pengetahuan lokal.

Modernisasi ekologi dan keadilan ekologis bukan saling meniadakan. Modernisasi ekologi penting, tetapi lebih penting lagi bila diiringi keadilan ekologis. Bahkan, kata Low dan Gleeson (1998), “sustainable development without environmental justice is an empty formula”.

Analisis bacaan 2
Unsur-unsur kebudayaan yang merupakan hasil adaptasi masyarakat dengan kondisi ekologi disekitarnya :
ü  Organisasi sosial : munculnya kelompok saintis.
ü  Sistem pengetahuan : adanya program keadilan ekologis.

BACAAN 2

Pendidikan anak bangsa tidak terjadi di ruang hampa melainkan berada dalam realita perubahan sosial yang sangat dahsyat. Pendidikan di sekolah merupakan salah satu subsistim dari keseluruhan sistim pendidikan yang terdiri dari sentra keluarga, masyarakat, media, dan sekolah. Masyarakat modern (atau pascamodern) ditandai dengan renggangnya hubungan antar manusia karena keterasingan masing-masing. Tanggung jawab pendidikan generasi muda telah ditumpukan dengan berat sebelah kepada lembaga-lembaga pendidikan formal terutama sekolah.

Sentra yang pertama, keluarga, merupakan cerminan masyarakat. Perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat membawa dampak dan perubahan dalam struktur, bentuk maupun nilai-nilai keluarga. Konsep keluarga inti dengan satu bapak yang bekerja mencari nafkah, satu ibu yang mengayomi dengan penuh kasih sayang di rumah, dan anak-anak yang bahagia dan mendapat cukup perhatian sudah sulit dipertahankan dalam era pascamodern. Keluarga pascamodern diwarnai dengan kedua orang tua yang sama-sama mencari nafkah, angka perceraian yang meroket, keluarga dengan satu orang tua saja dan juga keluarga yang mempekerjakan anak-anak mereka. Globalisasi telah membawa berbagai kemajuan sekaligus penyakit sosial. Kemiskinan struktural yang menimpa kaum marjinal telah merampok masa kanak-kanak dari sebagian anak dan memaksa mereka menjadi pekerja untuk menghidupi keluarga mereka.

Dulu orang tua dianggap sosok yang bijaksana dan sudah cukup tahu mengenai cara-cara mengasuh dan mendidik anak. Sejalan dengan peranan ibu dalam keluarga, anak dianggap polos dan membutuhkan pengarahan serta perlindungan orang tua. Sebaliknya dalam pandangan pascamodern, anak-anak dianggap kompeten: siap dan mampu menghadapi kegetiran hidup. Pandangan baru ini muncul bukan karena anak memang sudah kompeten melainkan karena orang tua dan masyarakat pascamodern membutuhkan anak yang kompeten: anak yang mampu menerima kenyataan perceraian orang tua, yang tidak tergoncang melihat kesadisan pembunuhan baik di televisi maupun dalam kehidupan nyata, yang mampu mencari nafkah di jalan untuk disetorkan kepada orang tua atau kepala kelompok mereka, serta yang mampu menghadapi berbagai kekacauan dalam masyarakat. Pandangan anak kompeten ini ditayangkan media dalam film-film seperti Home Alone dimana seorang bocah bisa mengalahkan bandit-bandit kejam sendirian dan Daun di atas Bantal yang menyuguhkan gambaran tekanan yang dialami 3 bocah yatim piatu untuk bisa bertahan hidup tanpa pengarahan dan perlindungan orang tua sebagai tokoh panutan.

Sementara itu, lingkungan masyarakat dianggap bukan tempat bagi generasi muda untuk belajar bagaimana bertingkah laku karena banyak kenyataan yang merupakan hal yang harus diubah. Banyak kebobrokan dalam masyarakat menjadi kontraproduktif dalam proses pendidikan anak. Belum adanya kesadaran tentang pentingnya lingkungan yang sehat, masih rendahnya kepatuhan kepada hukum yang berlaku, anarkisme, serta praktek negosiasi antara penguasa dan penegak hukum dengan pelanggar hukum menunjukkan betapa masyarakat belum menjadi tempat pendidikan yang sehat bagi anak. Hal ini diperparah dengan rekaman berbagai kerusakan dalam masyarakat baik berupa fakta, opini atas fakta, simbolisasi, anekdot maupun distorsinya dalam media massa yang telah menjadi bahan pemelajaran tidak resmi bagi anak.

Dalam konteks sosial ini, sekolah dijadikan tumpuan harapan untuk mendidik generasi muda. Sekolah telah menanggung beban yang kurang seimbang dalam proses pendidikan anak-anak muda.
Sebagian beban ini adalah tanggung jawab keluarga dan masyarakat. Sekolah telah menerima pelemparan tanggung jawab ini dengan berbagai alasan mulai dari alasan moral dan sosial, penugasan dari yang berkuasa (negara), sampai dengan alasan finansiil (uang SPP dan lain-lain dari orang tua untuk membayar pelaksanaan tanggung jawab ini). Padahal dalam kenyataannya, sekolah (formal) tidak lagi mampu menanggung beban sosial ini.

Kekurangsadaran masyarakat terhadap pentingnya pendidikan merupakan fenomena pedang bermata dua. Seperti pada APBN dan APBD, anggaran rumah tangga untuk pendidikan (formal) dalam kebanyakan keluarga di Indonesia masih sangat rendah. Fenomena ini bisa jadi merupakan bentuk ketidak-percayaan masyarakat terhadap signifikansi proses pendidikan dalam sistem sekolah formal untuk merubah kualitas hidup. Proses yang terjadi di sekolah dianggap sebagai ritual formalitas yang berkisar dari menjemukan sampai dengan menyiksa anak namun perlu dilakukan agar mendapatkan pengakuan resmi dari pemerintah berupa ijazah untuk bisa memasuki jenjang selanjutnya. Sekolah hanya dianggap sebagai lembaga pemberi ijazah. Di tingkat perguruan tinggi, terungkapnya kasus pembelian gelar dan ijazah sebagai jalan pintas yang juga melibatkan beberapa pejabat dan anggota dewan merupakan pucuk gunung es dari ketidakpercayaan terhadap proses pemelajaran dalam sistem formal.

Bagi keluarga miskin, harga yang harus mereka bayar untuk membeli ijazah ini terlalu mahal sehingga putus sekolah merupakan konsekuensi logis. Sedangkan bagi keluarga yang mampu secara finansial, biaya minimal untuk mengikuti formalitas perolehan ijazah direlakan asal tidak terlalu menggerogoti anggaran rumah tangga. Di beberapa sekolah swasta yang tidak menetapkan uang sumbangan masuk yang sama untuk setiap siswa, proses tawar menawar--seperti layaknya terjadi di pasar tradisional--antara orang tua/wali dengan panitia penerimaan siswa baru merupakan ritual rutin yang mengawali proses pendidikan anak di sekolah tersebut. Ketidak-relaan orang tua untuk membayar biaya pendidikan sebesar yang seharusnya mereka tanggung ini menunjukkan rendahnya kepedulian warga masyarakat terhadap pentingnya pendidikan bagi anak-anak mereka sendiri. Biaya yang lebih besar sebetulnya dianggarkan untuk pendidikan non-formal (les pelajaran, musik, seni, sanggar dan sebagainya).

Yang menggembirakan, sekolah-sekolah alternatif yang diprakarsai lembaga-lembaga swadaya masyarakat didirikan untuk menampung anak-anak miskin yang sudah tidak bisa diakomodasi secara optimal di sekolah-sekolah formal. Ketika masyarakat tergerak untuk mengambil alih kembali pendidikan, muncul pendidikan alternatif yang diprakarsai sejumlah lembaga swadaya masyarakat. Ada sanggar anak, sekolah anak rakyat, komunitas pinggir kali, dan sebagainya. Di kalangan kelas menengah, muncul gerakan homeschooling sebagai bentuk ketidak-percayaan kepada sekolah formal. Walaupun masih bersifat sporadis dan belum cukup banyak dibanding kompleksitas berbagai permasalahan dalam masyarakat, upaya-upaya alternatif ini merupakan bagian dari dinamika proses negosiasi dimensi formal dan non-formal pendidikan.

Ketika sekolah-sekolah formal (baik negeri maupun swasta) sudah terjebak dalam hegemoni negara dan tidak berdaya untuk mengakhiri gejala dehumanisasi dalam pendidikan dan ketika lembaga-lembaga pelatihan non-formal (kursus dan lembaga bimbingan belajar) juga ikut terjebak dalam industrialisasi dan komodifikasi ilmu pengetahuan dan ketrampilan, beberapa lembaga swadaya masyarakat memprakarsai sekolah-sekolah alternatif yang diharapkan bisa menembus kebekuan dan status quo dalam sistem pendidikan nasional.

Sejarah panjang intervensi negara dalam sistem pendidikan para warganya telah ikut mengikis kepedulian dan kemampuan masyarakat. Kasus anak sekolah dasar yang bunuh diri karena tidak bisa bayar SPP hanya menyengat sebagian warga sampai dengan rasa belas kasihan belaka namun tidak cukup serius untuk membangkitkan kesadaran dan gerakan dari masyarakat secara signifikan untuk memperbaiki dirinya sendiri dan meningkatkan kualitas hidupnya. Seperti kata Habermas, "before a society can effectively intervene in its own course, it must first develop a subsystem that specializes in producing collectively binding decisions" Berbagai kegiatan pendidikan alternatif sedang melakukan suatu perjalanan panjang yang diharapkan akan bisa mengajak warga masyarakat untuk memberdayakan dan mengatur diri demi kebaikan di masa mendatang.

Analisis bacaan 2
Unsur-unsur kebudayaan yang merupakan hasil adaptasi petani/masyarakat dengan kondisi ekologi disekitarnya :
ü  Sistem pengetahuan : masyarakat Biboki mempunyai pengetahuan seputar fenomena alam, lingkungan sekitar, aneka tanaman dan manfaat yang diperoleh dari penanamannya, pelbagai adat dan trdisi serta upacara dalam rangka pemeliharaan lingkungan, termasuk pula teknologi tradisional dalam menggarap lahan pertanian.
ü  Sistem teknologi : munculnya sistem perladangan baru dengan cara na’fot i (balik tanah) dengan menggunakan peralatan sederhana sepeti suan (tugal) dan kannu (linggis).

Cara adaptasi kegiatan pertanian masyarakat Biboki sebelumnya telah memenuhi ciri pemahaman ekologis yaitu dalam sistem pertanian mereka. Dengan sistem peladangan berpindah diharapkan dapat mengembalikan kesuburan tanah. Tapi ternyata tidak sesuai dengan yang diharapkan, karena sebelum tanah kembali pulih sudah digunakan lagi untuk berkadang. Sehingga pada akhirnya malah mengakibatkan kondisi tanah rusak dan berpengaruh pada lingkungan ekologi sekitarnya.

Budaya pertanian masyarakat Biboki mengarah pada pendekatan ekologi budaya karena sebagai masyarakat yang komposisinya didominasi oleh orang-orang bermata pencaharian petani, maka core culture orang Biboki pun berkisar pada sub-budaya tani dengan poros kegiatannya pada pengolahan tanah pertanian sawah maupun ladang.

Read More …
Categories: ,
Analisis Pola Adaptasi Ekologi
Bahan Bacaan Modul Bacaan Praktikum Sosiologi Umum Bab 10
Perubahan Ekologi Pertanian : dari Revolusi Hijau ke System of Rice Intensification
Oleh : Rina Mardiana dan Soeryo Adiwibowo
Manfaat Kearifan Ekologi Terhadap Pelestarian
Lingkungan Hidup
Oleh : Yohanes Gabriel Amsikan




BACAAN 1
Revolusi Hijau merupakan program yang mengintensifikasikan penggunaan bibit varietas unggul, pestisida dan pupuk kimia, serta jaringan irigasi “perubahan revolusioner”. Namun yang menjadi fokus utama adalah tanaman padi. Selain itu ada tanaman jagung dan palawija. “Fungsional integration” Revolusi Hijau mampu mencapai tujuan makro, namun pada tingkat mikro telah menimbulkan berbagai masalah, yakni dari aspek ekologis, sosial-ekonomi, dan budaya. Hal ini mengakibatkan berbagai kerentanan di sektor pertanian. Revolusi Hijau juga terjadi di bidang perikanan, yakni Revolusi Biru dimana sektor pertambakan udang di Indonesia mengalami intensifikasi dan monokulturisme. Ada dua hal mengenai intensifikasi dan monokultur budidaya ini. Pertama, penggunaan pestisida kimia secara terus menerus dalam jangka panjang dapat menimbulkan resistensi. Kedua, penggunaan satu varietas saja dalam satu sektor pertanian membuat pertanian rentan “William Ogburn (1930) cultural lag”.

Banyak curahan perhatian, dana, upaya penelitian, dan pengadaan sarana pertanian untuk mensukseskan aneka revolusi monokultural, maka pemerintah dan lembaga penelitian mengabaikan kajian, pengembangan, dan perlindungan sistem pertanian dan pangan lokal. Kalaupun ada upaya pengembangan pangan lokal biasanya tidak tersedia dukungan politik yang memadai untuk mendukung. Dengan kata lain, seluruh perangkat kebijakan dan insentif ekonomi di bidang pertanian diarahkan pada pertanian intensif dan monokultur. Misalnya pada paket kredit petani.

Kenyataan menunjukkan bahwa pembangunan di bidang pertanian tidak mampu mengangkat kondisi sosial-ekonomi petani. Hal ini terjadi karena pembangunan pertanian gagal dikaitkan dengan pengembangan kesejahteraan petani melalui pembangunan desa yang rata dan adil. Petani hampir tidak pernah mendapatkan pelayanan informasi mengenai pasar, iklim, dan hasil-hasil penelitian yang bisa mereka terapkan, termasuk mengenai teknologi tepat guna yang bisa memberikan nilai tambah pada produk pertanian. Akibatnya, citra petani sebagai golongan miskin, buta huruf, kumuh, dan tidak berkembang muncul sebagai resultan dari kegagalan pembangunan dalam mengangkat tingkat ekonomi sosial petani. Lebih jauh dari itu, kini semakin sedikit generasi muda yang mau jadi petani, terutama di kawasan industri di Jawa dan Bali karena sektor pertanian dipandang tidak mampu mencukupi kebutuhan hidup. 

Sebagai upaya untuk mendekatkan teknologi kepada petani, maka diperlukan pendekatan baru yang spesifik lokal berdasarkan permasalahan yang dialami petani. Teknik pertanian yang merupakan pengembangan dari pengetahuan tentang proses ekologis adalah Sistem Intensifikasi Padi (system of rice-SRI) “teori evolusi siklikal”. Sistem ini dikembangkan di Madagaskar lebih dari 20 tahun yang lalu dan segera diterima oleh petani di banyak negara, termasuk Indonesia. Teknik yang digunakan dalam SRI adalah dengan memperlebar jarak tanam shingga penyerapan unsur hara oleh akar merata kepada seluruh tanaman. Pada tahun 2004, dimana secara internasional dan nasional dideklarasikan sebagai tahun beras, semakin banyak petani kecil di Indonesia yang mulai menerapkan SRI, sebagai cara yang cukup revolusioner dalam bercocok tanam padi.

Analisis bacaan 1
Unsur-unsur kebudayaan yang merupakan hasil adaptasi petani/masyarakat dengan kondisi ekologi disekitarnya :
ü  Sistem teknologi : adanya program revolusi hijau dan program intensifikasi dan monokulturisme pertanian pangan,  serta teknologi-teknologi pertanian lainnya.
ü  Organisasi sosial : munculnya organisasi-organisasi sosial yang memfasilitasi kelompok-kelompok tani atau desa-desa.
ü  Sistem pengetahuan : kebijakan-kebijakan mengenai sistem pertanian yang dikeluarkan pemerintah membuat petani lebih mengetahui tentang sistem pertanian yang berkelanjutan. 

Sistem pertanian pangan yang adaptif dan dengan kondisi ekologi disekitarnya adalah system rice of intensification (SRI) karena dalam sistem ini terjadi penghematan air sampai 50%, penggunaan pupuk dan pestisida kimia juga lebih sedikit, dan diganti dengan penggunaan pupuk kandang. Dengan demikian metode ini memberi keuntungan bagi lingkungan hidup melalui perbaikan mutu tanah. Selain itu juga menguntungkan bagi petani karena memberikan hasil produksi yang lebih banyak.

BACAAN 2
Wilayah Biboki merupakan daerah sabana, yakni padang rumput yang luas diselingi belukar yang tidak begitu lebat. Menyusul munculnya padang sabana, maka perlahan-lahan dikembangkan pola pertanian baru, yakni perladangan dengan cara na’fot i (balik tanah) dengan peralatan tradisional, seperti suan (tugal) dan kannu (linggis).
            
Aktivitas penggalian pengetahuan ekologi masyarakat petani di desa khususnya di kalangan orang Biboki di desa Tautpah ini memiliki implikasi positif dan strategis terhadap pemeliharaan lingkungan hidup. Biboki sebagai bagian dari pulau timor sekarang ini tampak kering dan gersang dengan didominasi olah padang rumput yang luas atau sering disebut sebagai padang sabana. Adaptasi yang berlebihan dalam arti penggunaan sumberdaya alam secara berlebihan dapat berakibat maladaptif. Artinya, campur tangan manusia dapat memberikan gangguan pada keseimbangan ekologi.
            
Sebagai masyarakat yang komposisinya didominasi oleh orang-orang yang bermata pencaharian petani, maka core culture orang Biboki pun berkisar pada sub budaya tani dengan poros kegiatannya pada pengolahan tanah pertanian sawah maupun ladang. Salah satu kekhasan pertanian orang biboki adalah perladangan berpindah, suatu gaya bertani yang masih khas orang di wilayah tropis. Pertanian dengan sistem ladang berpindah ini satu pihak merupakan suatu bentuk kearifan ekologis dan adaptasi karena secara tidak langsung membantu proses pemulihan kesuburan tanah “perubahan evolisioner”.
            
Ladang berpindah, yang diharapkan dapat berfungsi mengembalikan kesuburan tanah, tidak lagi menjadi faktor yang mempertahankan keseimbangan ekologi. Keuntungan yang diperoleh dari gaya bertani ini lebih besar, sementara alam dan lingkungan menderita kerugian. Kearifan ekologi artinya sebagai tindakan masyarakat Biboki dalam upaya melangsungkan kehidupannya, yang selaras dengan lingkungan tanah kering yang mereka kenal. Kearifan ekologi dikaji melaui aspek pengetahuan mengenai ekologi secara ilmiah dan sistematis “teori evolusi unilinier”.
            
Orang biboki memiliki pengetahuan mengenai tubuh manusia “cultural lag”, termasuk di dalamnya sifat dan perilaku biakya ( sesamanya). Selain itu orang biboki memilik pengetahuan menganai tanah yang layak dan yang tidak layak untuk dijadikan lahan pertanian. Orang Bioki juga masih memegang teguh kebenaran-kebenaran yang dikisahkan turun menurun melalui mitos-mitos. Kearifan ekologi orang Biboki juga tercermin dalam perhatian seksama mereka terhadap sejumlah pantangan seperti snae, bunuk, dan nuni.
            
Studi etnoekologis mengenai sistem pertanian perladangan untuk menuak kearifan orang Biboki memberikan sejumlah informasi, yaitu : kenyataannya bahwa lingkungan alam seperti tanah, hutan, dan air perlu dijaga agar tetap memberikan hasil yang memadai setiap kali diolah. Orang Biboki memiliki pola perilaku yang berbeda, karena mereka memiliki pemahaman yang berbeda dengan pemerintah mengenai lingkungan.

Analisis bacaan 2
Unsur-unsur kebudayaan yang merupakan hasil adaptasi petani/masyarakat dengan kondisi ekologi disekitarnya :

Sistem pengetahuan : masyarakat Biboki mempunyai pengetahuan seputar fenomena alam, lingkungan sekitar, aneka tanaman dan manfaat yang diperoleh dari penanamannya, pelbagai adat dan trdisi serta upacara dalam rangka pemeliharaan lingkungan, termasuk pula teknologi tradisional dalam menggarap lahan pertanian.
Sistem teknologi : munculnya sistem perladangan baru dengan cara na’fot i (balik tanah) dengan menggunakan peralatan sederhana sepeti suan (tugal) dan kannu (linggis).

Cara adaptasi kegiatan pertanian masyarakat Biboki sebelumnya telah memenuhi ciri pemahaman ekologis yaitu dalam sistem pertanian mereka. Dengan sistem peladangan berpindah diharapkan dapat mengembalikan kesuburan tanah. Tapi ternyata tidak sesuai dengan yang diharapkan, karena sebelum tanah kembali pulih sudah digunakan lagi untuk berkadang. Sehingga pada akhirnya malah mengakibatkan kondisi tanah rusak dan berpengaruh pada lingkungan ekologi sekitarnya.

Budaya pertanian masyarakat Biboki mengarah pada pendekatan ekologi budaya karena sebagai masyarakat yang komposisinya didominasi oleh orang-orang bermata pencaharian petani, maka core culture orang Biboki pun berkisar pada sub-budaya tani dengan poros kegiatannya pada pengolahan tanah pertanian sawah maupun ladang.


Read More …
Categories: ,
Analisis Perubahan  Sosial dan Pembangunan
Bahan Bacaan Modul Bacaan Praktikum Sosiologi Umum Bab 11
Revolusi  Hijau dan Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa
Oleh : Sediono M.P. Tjondronegoro


Ikhtisar

I.1 Revolusi Hijau
      
Pelaksanaan Revolusi Hijau di Negara berkembang termasuk Indonesia, dimula sekitar tahun 1960-an. Program ini sebenarnya mengacu kepada program intensifikasi pertanian.teknologi baru di bidang agronomi yang mulai diterapkan pada masa pemerintah Hindia Belanda. Program ini bertujuan meningkatkan produksi padi tanpa mengubah struktur sosial. Revolusi dalam tulisan ini, mengaju kepada perubahan serentak tingkat produksi pangan.berkat penerapan revolusi hijau inila pada tahun 1984 menjadi Negara swsembada.

I.2 Revolusi Hijau tidak sesuai dengan yang diharapkan
    
Rencana mencapai kesuksesan swasembada pada dasarnya sudah dirumuskan di Departemen Perencanaan nasional dalam REncana Pembangunan Semesta (1961-1969). Produksi beras dalam dua tahun 1960-1962, harus mampu ditingkatkan sehingga konsumsi perkapita dapat ditingkatkan dari 93 Kg hingga 100 Kg. sasaran lain adalah peningkatan konsumsi protein. Sasaran tersebut ternyata tidak berhasil dicapai. Hingga akhirnya pada tahun 1961-1964 harus meengimpor beras lebih dari satu juta ton.

I.3 Program SSBM
      
Sejak tahun 1963/1964 program Swa-Sembada Bahan Makanan (SSBM) sebenarnya diintensifkan dengan pendekatan Bimbingan Massal (BIMAS) yang dikembangkan dan diterapkan oleh staf pengajar dan mahasiswa Fakultas Pertanian IPB di daerah
Karawang. Paket Bimas yang diberikan mencakup kredit (natura pupuk buatan, obat-obatan, bibit unggul, dan biaya hidup petani (tunai) untuk semusim (Cost of Living)). Hasil survey diketahui bahwa manfaat program bimas berbeda tergantung tingkatan petaninya.

I.4 Perubahan Sosial Masyarakat
      
Dengan masuknya teknologi baru di bidang pertanian sudah jelas ada lapisan-lapisan masyarakat desa yang bertambah kaya dan berkuasa atas sumberdaya. Komersialisasi mula merambah ke desa-desa. System derep dan bawon sudah jarang dilaksanakan. 

Beberapa indicator untuk mengukur tingkat komersialisasi :
1. Penggunaan tenaga dalam produksi padi
2. Usaha mengurangi biaya
3. Panen terbuka, derep atau uoah tebas
4. Penjualan padi
5. Upah buruh

I.5 Dampak dan Solusi
      
Perubahan-perubahan sosial yang tejadi, disamping akibat revolusi hijau, tampaknya juga ditunjang oleh Revolusi pendidikan, Revolusi Kesehatan, dan revolusi Transportasi. Untuk pemecahan dari masalah ini adalah dengan pengoptimalan sector jasa, industry kecil dan kerajinan. Sehingga masyarakat di pedesaan tidak sepenuhnya tergantung dengan pertanian.

Read More …
Categories: ,