Kenapa Kita Berbicara Keras Saat Marah - Seorang begawan pergi ke Sungai Gangga untuk mandi. Ia melihat ada keluarga yang sedang bertengkar, saling berteriak.

Ia berpaling ke murid-muridnya dan bertanya: "Kenapa orang suka saling berteriak kalau sedang marah?"

Salah satu menjawab: "Karena kehilangan sabar, kita berteriak."

"Tetapi, kenapa harus berteriak pada orang yang ada di sebelahmu? Kan, pesannya bisa juga sampai dengan cara halus?" tanya sang begawan.

Murid-murid saling adu jawaban namun tidak ada satu yang mereka sepakati.

Akhirnya sang begawan bertutur: "Bila 2 orang bermarahan, hati mereka sangat menjauh. Untuk dapat menempuh jarak yang jauh itu, mereka harus berteriak agar terdengar. Semakin marah, semakin keras teriakan karena jarak ke 2 hati pun semakin jauh.

"Apa yang terjadi saat 2 insan jatuh cinta?" lanjutnya. 

"Mereka tidak berteriak pada 1 sama lain. Mereka berbicara lembut karena hati mereka berdekatan. Jarak antara ke 2 hati tidak ada atau sangat dekat."

Setelah merenung sejenak, ia meneruskan. "Bila mereka semakin lagi saling mencintai, apa yang terjadi? Mereka tidak lagi bicara. Hanya berbisikan  dan saling mendekat dalam kasih-sayang. Akhirnya, mereka bahkan tidak perlu lagi berbisikan. Mereka cukup saling memandang. Itu saja. Sedekat itulah 2 insan yang saling mengasihi."

Sang begawan memandangi murid-muridnya dan mengingatkan dengan lembut: 
"Jika terjadi pertengkaran, jangan biarkan hati menjauh. Jangan ucapkan perkataan yang membuat hati kian menjauh. Karena jika kita biarkan, suatu hari jaraknya tidak lagi bisa ditempuh."
Sumber: Tetangga sebelah
Read More …
Categories:
Guru Kehidupanku adalah seorang anak kecil - Bergetar hati dan tak tahan mata ini sampai berkaca-kaca membaca shared dari kakak kandungku...

Sesudah jumatan aku masih duduk di teras mesjid di salah satu kompleks sekolah. Jamaah mesjid sudah sepi, bubar masing-masing dengan kesibukannya. Seorang nenek tua menawarkan dagangannya, kue traditional. Satu plastik harganya lima ribu rupiah. Aku sebetulnya tidak berminat, tetapi karena kasihan aku beli satu plastik. Si nenek penjual kue terlihat letih dan duduk di teras mesjid tak jauh dariku. Kulihat masih banyak dagangannya.

Tak lama kulihat seorang anak lelaki dari komplek sekolah itu mendatangi si nenek. Aku perkirakan bocah itu baru murid kelas satu atau dua.

Dialognya dengan si nenek jelas terdengar dari tempat aku duduk. 

"Berapa harganya Nek?"

"Satu plastik kue Lima ribu, nak", jawab si nenek.
Anak kecil itu mengeluarkan uang lima puluh ribuan dari kantongnya dan berkata :

"Saya beli 10 plastik, ini uangnya, tapi buat Nenek aja kuenya kan bisa dijual lagi."

Si nenek jelas sekali terlihat berbinar2 matanya : 
"Ya Allah terima kasihh banyak Nak. Alhamdulillah ya Allah kabulkan doa saya untuk beli obat cucu yang lagi sakit." Si nenek langsung jalan.

Refleks aku panggil anak lelaki itu.
"Siapa namamu ? Kelas berapa?"

"Nama saya Radit, kelas 2, pak", jawabnya sopan.

"Uang jajan kamu sehari lima puluh ribu?'"

" Oh .. tidak Pak, saya dikasih uang jajan sama papa sepuluh ribu sehari. Tapi saya tidak pernah jajan, karena saya juga bawa bekal makanan dari rumah." "Jadi yang kamu kasih ke nenek tadi tabungan uang jajan kamu sejak hari senin?", tanyaku semakin tertarik.

"Betul Pak, jadi setiap jumat saya bisa sedekah Lima puluh ribu rupiah. Dan sesudah itu saya selalu berdoa agar Allah berikan pahalanya untuk ibu saya yang sudah meninggal. Saya pernah mendengar ceramah ada seorang ibu yang Allah ampuni dan selamatkan dari api neraka karena anaknya bersedekah sepotong roti, Pak", anak SD itu berbicara dengan fasihnya.

Aku pegang bahu anak itu : 
" Sejak kapan ibumu meninggal, Radit?" "Ketika saya masih TK, pak"

Tak terasa air mataku menetes : 
"Hatimu jauh lebih mulia dari aku Radit, ini aku ganti uang kamu yg Lima puluh ribu tadi ya...", kataku sambil menyerahkan selembar uang lima puluh ribuan ke tangannya. Tapi dengan sopan Radit menolaknya dan berkata : 
"Terima kasih banyak, Pak... Tapi untuk keperluan bapak aja, saya masih anak kecil tidak punya tanggungan... Tapi bapa punya keluarga.... Saya pamit balik ke kelas Pak".
Radit menyalami tanganku dan menciumnya.

"Allah menjagamu, nak ..", jawabku lirih.

Aku pun beranjak pergi, tidak jauh dari situ kulihat si nenek penjual kue ada di sebuah apotik. Bergegas aku kesana, kulihat si nenek akan membayar obat yang dibelinya. Aku bertanya kepada kasir berapa harga obatnya.

Kasir menjawab : 
" Empat puluh ribu rupiah.."

Aku serahkan uang yang ditolak anak tadi ke kasir : 
" Ini saya yang bayar... Kembaliannya berikan kepada si nenek ini.."

"Ya Allah.. Pak..." Belum sempat si nenek berterima kasih, aku sudah bergegas meninggalkan apotik... 

Dalam hati aku berdoa semoga Allah terima sedekahku dan ampuni kedua orang tuaku...

Akankah aku, anakku dan kalian semua dapat melakukan hal yang sama dengan Radit lakukan?

Semoga kita semua dapat mengambil hikmah nya dan dijadikan Allah hambaNya yang berjiwa besar serta selalu patuh padaNya..


Sumber: Tetangga sebelah
Read More …
Categories:
Jabatan yang Bermanfaat - Dapat share cerita inspirasi dari seorang Direksi perusahaan otomotive di Jakarta.

Waktu itu saya dalam perjalanan dari Jogya ke Jakarta naik pesawat.
Karena keberangkatan pesawat ditunda 1 jam saya menunggu di in HB kafetaria bandara Adisucipto sekedar minum kopi.

Di depan saya duduk seorang ibu sudah agak tua, memakai pakaian Jawa tradisional kain batik dan kebaya, wajahnya tampak tenang dan keibuan... 
Sekedar mengisi waktu, saya mengajaknya bercakap-cakap. 

" Mau pergi ke jkt, bu? " Iya nak, hanya transit di cengkareng terus ke Singapura

" Kalau boleh, mau menanyakan, ada keperluan apa ibu pergi ke singapura? " Menengok anak saya yang nomor dua nak, istrinya melahirkan di sana terus saya diberi tiket dan diuruskan paspor melalui biro perjalanan. Jadi saya tinggal berangkat tanpa susah mengurus apa-apa."

" Puteranya kerja dimana, bu?
" Anak saya ini insinyur perminyakan, kerja di perusahaan minyak asing, sekarang jadi kepala kantor cabang singapura "

" Berapa anak ibu semuanya?"

" Anak saya ada 4...Nak..., 3 laki-laki dan 1 perempuan. Yang ini tadi anak nomer 2. Yang nomer 3 juga laki-laki, dia sekarang jajaran Direksi di PT. Astra International, Toyota Sales Operation... Yang bungsu perempuan jadi dokter spesialis anak, suaminya juga dokter, ahli bedah dan dosen di universitas Airlangga Surabaya "

" Kalau anak sulung ibu?"

" Dia petani, nak. Tinggal di Godean, menggarap sawah warisan almarhum bapaknya "

Saya tertegun sejenak lalu dengan hati-hati saya bertanya,
" Tentunya ibu kecewa kepada anak sulung ya bu, tidak menjadi sarjana atau pejabat seperti adik-adiknya "

" Sama sekali tidak, nak. Malahan kami sekeluarga semuanya hormat kepada dia. Dari hasil sawahnya dia membiayai hidup kami dan menyekolahkan semua adik-adiknya sampai selesai jadi sarjana"

Saya termenung... :
Ternyata yang penting bukan Apa atau Siapa kita, tetapi apa yang telah kita perbuat... Keberhasilan dalam hidup kita dapat diukur dengan menghitung jumlah orang yang telah kita buat bahagia... Dan betapa jabatan tidak akan bermanfaat bagi sesama, jika tidak kita utuhkan dengan kebijakan dan kebajikan...

AllahSWT tidak akan menilai apa dan siapa kita tetapi apa amal-ibadah kita, letak kehormatan seseorang itu bukan pada kekayaan, jabatan atau pangkatnya, akan tetapi lebih kepada kemuliaan hati dan perbuatannya...

Semoga kita semua kelak menjadi pemimpin yang amanah dan bermanfaat bagi sesama... 


Sumber: Tetangga sebelah
Read More …
Categories: